Soroti Sea Snot Teluk Bima, Lusy Ajak Warga Cintai Lingkungan
JAKARTA (11 Mei) : Ketua Bidang Lingkungan Hidup DPP NasDem, Lusyani Suwandi sampaikan rasa prihatinnya atas fenomena lendir laut atau yang familiar dikenal dengan sea snot di Teluk Bima, NTB yang muncul sejak 28 April lalu.
Perempuan kelahiran Pangkal Pinang, 22 November 1970 itu menilai fenomena laut tersebut disebabkan oleh pemanasan global dan akumulasi dari pembuangan limbah di Teluk Bima.
“Dampak sea snot ini tidak bisa kita anggap sebagai fenomena laut biasa karena ini bisa berdampak pada kesehatan manusia dan rusaknya ekosistem laut,” kata Lusy, dalam keterangannya, Rabu (11/5).
Pantai Amahami, Teluk Bima tertutup zat berwarna coklat dan berbau tidak sedap. Lusy menilai Sea Snot dapat menarik virus dan bakteri, termasuk E. Coli, sehingga dapat menjadi selimut yang mencekik kehidupan laut yang mengancam flora dan fauna laut, serta manusia.
Masih kata Lusy, peristiwa sea snot ini terjadi secara alami ketika alga atau ganggang di laut dipenuhi oleh nutrisi akibat iklim yang semakin hangat dan diperparah oleh pencemaran air laut.
“Fenomena sea snot pertama kali terjadi di Laut Marmara, Turki pada 2007 dan ditemukan di Laut Aegea sekitar Yunani,” kata Lusy.
Lusy menambahkan, Professor Husyein Erdugan dari Departemen Biologi, Universitas Onsekiz Mart pernah menjabarkan bahwa Sea Snot adalah massa mikroorganisme yang diperkaya oleh komponen limbah yang tidak diolah terlebih dahulu dan langsung dibuang ke laut.
Hal itu kata Lusy telah menjadi bukti nyata dari perubahan iklim yang sudah dapat terlihat secara langsung dan dampaknya juga sudah dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Menjaga lingkungan dan aksi nyata untuk terus melindungi kualitas lingkungan harus terus digalakkan oleh semua pihak. Semoga fenomena ini mengingatkan kita untuk hidup berdampingan dengan alam,” tutur Lusy.
Berdasarkan pendapat para ahli, menurut Lusy, penanggulangan jangka pendek sea snot dapat dilakukan dengan mengumpulkan lendir laut dari permukaan laut serta meletakkan penghalang untuk menghambat penyebarannya.
Kemudian untuk penanggulangan jangka panjangnya perlu memastikan pengolahan air limbah agar tidak langsung dibuang di badan air dan menciptakan kawasan perlindungan laut sehingga perubahan iklim tidak berdampak langsung.
“Upaya cepat dan sigap perlu dilakukan oleh semua pihak untuk mengetahui adanya pembuangan limbah yang masuk di Teluk Bima dan faktor-faktor lainnya. Sehingga dampak yang ditimbulkan bisa diminimalisir,” kata Lusy.
Sementara itu, pakar lingkungan hidup IPB Hefni Effendi bersama ahli kualitas air Mursalin Aan, dosen ilmu manajemen perairan Reza Zulmi, dan peneliti lingkungan Hidup Luluk DW Handayani, mengidentifikasi fenomena ini dan menyebut bahwa kelimpahan fitoplankton atau blooming itu terjadi di kelas Bacillariophyceae.
Dilansir dari laporannya, Hefni menyebut jumlah alga Bacillariophyceae di Teluk Bima diperkirakan sebanyak 10-100 miliar per liter air.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021, kandungan fitoplankton itu melebihi baku mutu air yang mensyaratkan ambang batas fitoplankton hanya sebanyak 1.000 sel per millimeter atau 1 juta sel per liter. (WH)