a

Menjaga Marwah Lembaga Filantropi

Menjaga Marwah Lembaga Filantropi

Oleh: Habib Mohsen Alhinduan

Anggota Dewan Pakar Pusat Partai NasDem,

 

Polemik lembaga Filantropi Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT) masih menyisakan begitu banyak kekecewaan dari masyarakat. Pengemplangan dana umat yang begitu royal dipakai sebagai gaji dan operasional petinggi lembaga tersebut jelas telah merusak marwah organisasi. Juga menyakiti hati masyarakat Indonesia, khususnya para kalangan muslim Indonesia yang begitu solid dalam berderma, yang selalu berada di garda terdepan untuk membantu sesama saudara.

Harus diakui, sensitivitas warga Indonesia, khususnya kalangan muslim dalam membantu persoalan warga sangatlah besar. Tingginya sensitivitas ini tidak saja bermuara pada keringanan energi dan waktu. Dengan niat karena kewajiban vertikal terhadap Tuhan dan adanya rasa tanggung jawab sosial terhadap sekitar, warga juga begitu antusias dalam mengorbankan harta, benda dan materi lainnya untuk sesama.

Pada dasarnya, penabalan filantropi sebagai orientasi sebuah lembaga sosial bermakna sangat luas. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, Filantrophy (Filantropi) bermakna cinta kasih terhadap sesama. Wikipedia menjelaskannya secara lebih detail. Filantropi adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan kepada orang-orang yang menyumbang banyak dana untuk kegiatan amal.

Awalnya, budaya filantropi ini dilakukan oleh personal-personal tertentu yang memiliki jiwa keagamaan, solidaritas dan sosial yang tinggi. Semulanya dilakukan di lingkungan-lingkungan yang terbatas, seperti tradisi berbagi makanan dan minuman. Kemudian bergerak lebih besar dengan adanya penyaluran beasiswa bagi pelajar kurang mampu, membantu masyarakat terdampak bencana alam.

Gerakan-gerakan sosial yang bersifat pribadi tersebut kemudian dikelola menjadi proses yang lebih kolektif. Proses tersebut tentunya dilatarbelakangi keinginan untuk memberikan multiple efek bagi masyarakat itu sendiri agar dapat memperoleh manfaat dalam konteks yang lebih besar. maka tumbuhlah pelembagaan-pelembagaan gerakan filantropi seperti Filantropi Keluarga, Filantropi Perusahaan, Filantropi Keagamaan, Filantropi Independen, Filantropi Media, dan lembaga-lembaga filantropi lainnya.

Secara umum, bentuk filantropi dalam Islam dituangkan pada konsep zakat, infak, shadaqah, wakaf, dan hibah. Tujuannya dasarnya juga untuk membangun solidaritas kebersamaan dalam mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Cakupannya juga sangat luas. Mencakup pemberian standar hidup yang layak, penyediaan pangan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan hal-hal dasar lainnya.

Islam juga memiliki lembaga keuangan syariah. Lembaga tersebut berorientasi pada pemerataan permodalan agar simpul-simpul ekonomi umat Islam bisa diberdayakan dengan optimal. Lembaga tersebut awalnya juga dikategorikan sebagai gerakan Filantropi bisnis, bedanya lebih menggarap sektor perekonomian dengan pendekatan yang lebih berkeadilan dan tidak memberatkan penerima manfaat.

Sayangnya, gerakan-gerakan filantropi tentu saja tidak terlepas dari adanya kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Islam membolehkan pengelola dana umat untuk mengatur beban operasional yang ditanggungnya. Tapi tidak berlebihan. Dan tentu bukan untuk memperkaya diri. Apalagi memperkaya kelompok tertentu. Jangan sampai kehilangan tujuan akhir, bahwa dana umat dipakai untuk menjaga nilai-nilai keadilan. Agar semua lapisan masyarakat dapat saling terbantukan dengan adanya solidaritas sosial tersebut.

Untuk menjaga marwah lembaga filantropi, para pengelola dana umat tentu saja diharuskan terbuka. Seterbuka mungkin. Semuanya harus dilaporkan kepada publik secara berkala. Tak boleh ada yang dilewatkan, walau sebatas sebotol minuman. Konon lagi gaji dan operasional pendukung. Dan pastinya, angka-angka tersebut haruslah realistis meskipun dana yang dikelola berjumlah sangat besar. Besarnya perolehan dana umat harusnya tidak serta-merta berbanding lurus dengan konsep ekonomi pada umumnya. Besar pendapatan, besar gajinya. Oh, tidak. Ini dana umat. Dana umat bukanlah pendanaan yang didapatkan secara komersil melalui kegiatan bisnis tertentu yang bisa dipakai sesukanya. Harus ada angka yang ideal dan realistis. Toh niat dasarnya karena Tuhan.

Konon lagi kalau ada unsur kesengajaan. Sebut saja seperti mark up nilai kegiatan sosial. Ngakunya nyumbang ternak puluhan ribu ekor, nyatanya cuma ribuan saja. Atau ada unsur pemaksaan setoran secara pribadi dari unit bisnis yang dikelolanya. Praktik-praktik yang demikian jelas merupakan hal terlarang. Dilarang oleh agama, menyakiti hati umat dan pastinya juga bertentangan dengan hukum negara.

Untuk itu, negara pun harus hadir. Pemerintah harus memperketat penerbitan izin yayasan-yayasan filantropi di Indonesia yang berkedok pengumpulan dana zakat, infak, shodaqah, dan wakaf. Pemerintah juga perlu mengontrol secara ketat laporan keuangannya. Mekanisme pengawasan dari pemerintah harus dilakukan secara berlapis dan terbuka agar masyarakat juga bisa melihat keterbukaan lembaga filantropi manapun.

Di satu sisi, kita tentu berterimakasih pada kelompok masyarakat yang secara intens terlibat aktif dalam kegiatan sosial. Namun di sisi lainnya, polemik-polemik lembaga filantropi seperti ACT menjadi alasan munculnya skeptisme dan apatisme publik terhadap pengelolaan dana umat.

Masyarakat Indonesia jelas memiliki daya solidaritas yang tinggi. Harusnya kepercayaan umat itu dirawat dan dijaga. Agar kita bisa sejahtera bersama-sama. Agar kita bisa tertawa dan tersenyum bahagia bersama-sama. Mari kita lanjutkan kesadaran untuk membantu sesama dengan memberikan bantuannya pada tempat yang seharusnya. Juga dengan menjaga marwah lembaga sosial yang mungkin anda kelola.

Add Comment