a

Prasasti Pucangan bagian Sejarah Nusantara Bernilai Tinggi

Prasasti Pucangan bagian Sejarah Nusantara Bernilai Tinggi

JAKARTA (15 September): Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ratih Megasari Singkarru mengatakan Prasasti Pucangan merupakan bagian dari sejarah Nusantara yang bernilai tinggi. Repatriasi prasasti itu dari India harus segera direalisasikan.

“Benda-benda sejarah, terlebih yang berisi dokumentasi terkait peradaban Bangsa Indonesia, tidak terlepas dari identitas bangsa kita. Karena itu keberadaannya di luar Negara Indonesia memiliki urgensi untuk dibawa pulang ke Indonesia,” ujar Ratih dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk ‘Repatriasi Prasasti Pucangan dari India’, secara daring, Rabu (14/9).

Menurut Ratih, Prasasti Pucangan merupakan bagian dari jati diri Bangsa Indonesia. Ia mengatakan, pelestarian prasasti juga sudah diamanatkan dalam UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

“Prasasti Pucangan memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, pendidikan, bahkan agama. Hal tersebut sudah masuk kriteria sebagai cagar budaya, seperti yang tertera di UU Cagar Budaya,” tandasnya.

Meski demikian, Ratih mengakui bahwa upaya repatriasi benda cagar budaya tidak mudah dan membutuhkan waktu lama. Seperti halnya saat repatriasi benda cagar budaya dari Belanda beberapa waktu lalu (keris Pangeran Diponegoro).

“Berkaca pada yang sudah berhasil dilakukan, misalnya dari Belanda, memang memakan waktu yang tidak sebentar walaupun kedua negara sudah setuju untuk melakukan repatriasi,” urainya.

Legislator NasDem itu mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sudah mengirimkan tim ke India untuk proses repatriasi Prasasti Pucangan. Selain itu, estafet Presidensi G20 yang kini dipegang Indonesia bisa menjadi momentum penting, karena tahun berikutnya Presidensi G20 adalah India.

“Isi prasasti dengan Bahasa Sansekerta, seharusnya dari sisi emosional pihak India bisa memahami betapa pentingnya Prasasti Pucangan itu agar bisa segera dikembalikan ke Indonesia,” ujarnya.

Ratih menambahkan, ada dua konvensi tentang pelestarian benda cagar budaya yang belum diratifikasi Indonesia. Yaitu Konvensi Unesco Tahun 1970 tentang Ownership of Cultural Property dan Konvensi Unidroit Tahun 1995 tentang Stolen or Illegally Exported Cultural Objects.

“Pertanyaannya, apakah Indonesia perlu meratifikasi untuk memperkuat pelindungan terhadap benda cagar budaya kita, dan juga sebagai antisipasi penemuan benda cagar budaya di masa mendatang yang perlu direpatriasi,” ujarnya.

Legislator NasDem dari Dapil Sulawesi Barat itu juga menyarankan, ke depan benda-benda cagar budaya agar bisa digitalisasi atau dengan 3d modeling. Hal tersebut agar benda cagar budaya bisa terarsipkan secara digital serta bisa direproduksi untuk keperluan edukasi.

“Itu hal yang menarik. Preservasi secara fisik memang tidak tergantikan, namun dengan kemajuan teknologi digital, keberadaan dan nilai yang terkandung dalam benda cagar budaya semestinya dapat dirasakan dan disentuh masyarakat Indonesia secara luas,” pungkasnya.

(dis/*)

Add Comment