Negara Harus Menjamin Eksistensi dan Hak-Hak Masyarakat Adat
JAKARTA (9 Agustus): Negara harus bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat adat dengan menjamin eksistensi dan melindungi mereka, sebagai bagian dari warga negara Indonesia.
“Masyarakat adat kerap dipandang sebagai objek karena kepemilikan lahan yang dapat dihargai dengan uang. Perlindungan pada hak hidup mereka kerap diabaikan,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Keberadaan Masyarakat Adat dalam Negara Indonesia, Sampai di Mana? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (9/8).
Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Sulaeman L Hamzah (anggota Badan Legislasi DPR RI), Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI), dan Atang Irawan (pakar hukum tata negara) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Abdon Nababan (Pegiat Masyarakat Adat) dan Siswantini Suryandari (Wartawan Media Indonesia) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, masyarakat adat selalu menghadapi konflik agraria, masalah pengakuan oleh negara, dan perlindungan atas ragam pelanggaran hak-hak dasar mereka.
Hingga saat ini, tambah Rerie sapaan akrab Lestari, pengakuan pada masyarakat adat masih berbasis individual.
Padahal, tegasnya, yang perlu menjadi catatan adalah pengakuan terhadap masyarakat adat mesti dilakukan secara menyeluruh, baik komunal maupun individual. Pasalnya, ujar legislator dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, masyarakat adat merupakan satu kesatuan entitas dengan kearifan lokal yang melekat.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat, minimnya pemahaman aparatur dan pengabaian berkelanjutan atas kultur masyarakat adat sama saja dengan
membangun pola pembiaran pada keberlangsungan hidup komunitas adat.
Rerie berharap peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional setiap 9 Agustus menjadi refleksi sekaligus ‘peringatan’ bagi negara untuk segera menghadirkan sebuah produk undang-undang perlindungan yang saat ini masih dalam tahapan legislasi dan merupakan amanah konstitusi.
Anggota Badan Legislasi DPR RI, Sulaeman L Hamzah mengungkapkan sejatinya ada dua hal besar terkait masyarakat adat, yaitu adanya sejumlah peraturan perundang-undangan terkait masyarakat hukum adat, namun belum menjamin terlaksananya mekanisme perlindungan terhadap masyarakat adat.
Menurut Sulaeman, di pelosok selalu saja terjadi peristiwa yang menimpa masyarakat hukum adat.
Diakui Sulaeman, upaya untuk mewujudkan hadirnya Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sudah dilakukan DPR periode 2014-2019.
Hingga 15 September 2020, tambah Sulaeman, pihaknya sudah berupaya mendorong untuk diajukan ke rapat paripurna agar segera dibahas. Sulaeman berjanji, Fraksi NasDem di DPR akan terus mendorong RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) untuk segera diparipurnakan.
Menurut Sulaeman, banyak tantangan untuk mewujudkan UU MHA, salah satunya karena dalam aturan pembuatan UU tidak disebutkan batasan waktu pembahasan hingga selesai.
Selain itu, tambahnya, upaya pemerintah yang agresif menarik investor untuk berinvestasi dalam negeri cenderung melahirkan kebijakan yang pro investasi dan kerap bertabrakan dengan kepentingan masyarakat adat.
Oleh karena itu, Sulaeman mengajak semua pihak bergandengan tangan untuk mengambil langkah strategis agar RUU MHA segera disahkan menjadi undang-undang.
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Hilmar Farid, mengungkapkan terminologi masyarakat adat dalam konvensi ILO 169 ada dua, yaitu indegenous people (penduduk asli) dan tribal people (orang suku).
Hilmar memperkirakan, bila RUU MHA kembali dibahas, sejumlah pihak akan mempermasalahkan terminologi indegenous yang merupakan orang asli, sebelum datang yang lain. Namun, jelas dia, masyarakat adat di Indonesia merupakan orang asli di wilayah terkait.
Selain itu, ujar Hilmar, ada banyak pengertian yang berbeda dalam sistem hukum dan birokrasi di Indonesia terkait masyarakat adat, sehingga dalam pembahasan lanjutan RUU MHA harus dipertimbangkan latar belakang permasalahan tersebut.
Menurut Hilmar, saat ini banyak undang-undang yang menempatkan masyarakat adat sebagai objek sehingga selalu saja dalam pelaksanaan undang-undang yang ada masyarakat adat menjadi korban.
Kehadiran UU MHA kelak, tambahnya, sejatinya bertujuan menempatkan masyarakat adat sebagai subjek dalam proses pembangunan. Saat ini sudah ada 65 kabupaten di Indonesia memiliki aturan yang melindungi masyarakat adat.
Pihak Ditjen Kebudayaan di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Kemenko PMK) membetuk tim untuk melayani advokasi masyarakat adat.
Sejauh ini, tambah Bilmar, pihaknya telah menangani sejumlah kasus terkait perselisihan atau sengketa yang melibatkan masyarakat adat.
Pakar hukum tata negara, Atang Irawan, berpendapat formulasi pengaturan masyarakat adat mencakup dua hal, yaitu pengakuan dan penghormatan masyarakat adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Banyaknya lembaga yang terkait dengan masyarakat adat, menurut Atang, menjadi titik krusial dalam proses pembuatan aturan terkait masyarakat adat.
Menurutnya, UUD 1945 Pasal 18A (2) mengamanatkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang diatur dalam undang-undang.
Sedangkan Pasal 18A (1), negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Ketentuan Pasal 18B ayat (2), menurut Atang, dapat dipahami bahwa UUD 1945 lebih mengutamakan hukum yang tertulis daripada tidak tertulis.
Maknanya, tambah dia, pengakuan terhadap hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat di suatu daerah harus dilakukan dengan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan (tertulis).
Pegiat masyarakat adat, Abdon Nababan, berpendapat aturan yang ada saat ini bila dilihat lebih mendasar tidak menempatkan masyarakat adat sebagai subjek. Padahal, masyarakat adat juga memiliki hak sebagai warga negara.
Saat ini, ujar Abdon, yang diperlukan adalah pengaturan eksistensi masyarakat adat terkait hak yang mereka miliki. Pasalnya, secara substansi pengakuan masyarakat sebagai bagian dari warga negara Indonesia sudah final dinyatakan dalam konstitusi.
“Tetapi bagaimana hal itu menjadi suatu yang konkret, itu yang harus diwujudkan,” tutur Abdon.
Ia percaya, RUU MHA bisa segera diwujudkan sebagai undang-undang bila menggunakan konsep dan pembahasan omnibus law, seperti yang dilakukan pemerintah pada sektor ekonomi dan kesehatan.
Jurnalis Media Indonesia, Siswantini Suryandari, berpendapat selama ini kita lupa bahwa masyarakat adat adalah bagian dari warga negara Indonesia, yang seharusnya tidak boleh dianaktirikan.
Dengan sikap seperti itu, ujar Siswantini, masyarakat adat seringkali tertinggal dalam banyak hal. Baik dari sisi akses pendidikan, kesehatan, dan sejumlah kebutuhan dasar lainnya.
Akibatnya, tegas Siswantini, masyarakat adat selalu saja menjadi pihak yang tertinggal, bahkan sering kali tidak berdaya dan hak-haknya dirampas.
Berdasarkan kondisi itu, tegas dia, hak-hak masyarakat adat harus terpenuhi, agar masyarakat adat tidak selalu berada di belakang dalam proses pembangunan.
Di akhir diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat menyayangkan bahwa Direktorat Jenderal Kebudayaan tidak masuk dalam surpres yang dikeluarkan Sekertariat Negara dalam rangka pembahasan RUU MHA.
Selain itu, Saur juga gembira dengan optimisme yang ditunjukkan Abdon Nababan yang percaya bahwa UU MHA bisa diwujudkan pada periode ke-2 oemerintahan Jokowi, bila menggunakan skema omnibus law.
Namun, tambah Saur, bila pembahasan RUU MHA tidak kunjung usai, membentuk lembaga khusus yang menangani masyarakat adat bisa dilakukan, sehingga banyak masalah yang dihadapi masyarakat adat bisa segera diselesaikan. (*)