Indonesia Harus Ikut Cegah Konflik Tiongkok-Taiwan
JAKARTA (2 Oktober): Indonesia harus mewaspadai eskalasi konflik yang berdampak pada kerja sama ekonomi dengan Tiongkok dan Taiwan, sebagai bagian dari pelaksanaan amanah konstitusi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia.
“Kita harus ikut mencari jalan agar tidak terjadi konflik antara Tiongkok dan Taiwan, sebagai bagian langkah menjalankan amanah konstitusi untuk ikut menciptakan perdamaian dunia,” kata Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR RI periode 2019-2024 dalam sambutannya pada diskusi daring bertema Pengaruh Hubungan Cina dan Taiwan Bagi Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (2/10).
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR periode 2019-2024) itu menghadirkan Arifianto Sofiyanto (Direktur Asia Timur, Kementerian Luar Negeri), Connie Rahakundini Bakrie (Guru Besar, Pengamat Militer), dan Broto Wardoyo (Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia). Hadir pula Muhammad Farhan (anggota Komisi I DPR RI Periode 2019-2024) sebagai penanggap.
Sejarah konflik politik kedua negara tersebut, ujar Lestari Moerdijat yang akrab disapa Rerie itu, sejatinya memberi dampak signifikan pada perdagangan bilateral, baik Indonesia-Tiongkok maupun Indonesia-Taiwan.
Menurut Rerie, Indonesia harus mewaspadai sejumlah dampak turunan yang akan ditimbulkan dari konflik Tiongkok-Taiwan.
Apalagi, jelas Legislator NasDem dari Dapil Jawa Tengah II (Demak, Kudus, Jepara) tersebut, saat ini juga terjadi ketegangan antara Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina yang mempengaruhi berbagai sektor di tingkat global.
Terpenting, tambah anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, kita mesti menempatkan Indonesia pada konstelasi kedua negara tersebut dalam konteks hubungan bilateral dan diplomasi untuk kepentingan dalam negeri.
Direktur Asia Timur Kemenlu, Arifianto Sofiyanto mengungkapkan pengelolaan hubungan Indonesia dengan Tiongkok dan Taiwan selama ini bersandar pada kesepakatan kebijakan satu Cina.
Hubungan Indonesia dengan Taiwan, ujar Arifianto, dilakukan melalui satu kantor dagang. Perwakilan Indonesia di Taiwan, tambah dia, adalah kantor dagang. Demikian juga kantor perwakilan Taiwan di Indonesia dinamakan Taiwan Economic and Trade Office (TETO), lembaga yang mengurusi perdagangan.
Secara resmi, jelas Arifianto, Indonesia tidak menjalin hubungan politik dengan Taiwan sebagai negara, melainkan sebagai entitas ekonomi.
Padahal, tambah dia, Indonesia memiliki sejumlah kepentingan di Taiwan, seperti antara lain perlindungan WNI yang bekerja di Taiwan, kerja sama ekonomi, capacity building dalam bentuk pendidikan dan kebudayaan.
Karena saat ini, jelas Arifianto, di Taiwan ada 355 ribu WNI, yang didominasi para pekerja migran Indonesia.
Menurut Arifianto, dinamika konflik Selat Taiwan saat ini membutuhkan kepekaan atau sensitivitas Indonesia dan lembaga negara dalam bersikap untuk ditingkatkan.
Pengamat Militer, Connie Rahakundini Bakrie berpendapat ada kerugian bila Indonesia tidak bisa menjalin hubungan langsung dengan suatu negara.
Menurut Connie, berbagai macam kejadian luar biasa akan terjadi pada konflik kawasan Laut Cina Selatan.
Upaya untuk mengantisipasi kondisi tersebut, kata dia, memerlukan kombinasi antara upaya diplomatik dan kesiapan untuk menghadapi perang terkait ketersediaan alat perang dan teknologi.
Kesalahan perhitungan dalam membaca arah konflik yang akan terjadi di kawasan, jelas Connie, akan berdampak pada kondisi di dalam negeri.
Menurut Connie, peran Indonesia di ASEAN sangat penting untuk menekan potensi konflik di kawasan Laut Cina Selatan.
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Broto Wardoyo berpendapat jalinan kerja sama Indonesia dan Taiwan dipicu problem mendasar terkait upaya untuk melindungi bangsa.
Apalagi, jelas Broto, jumlah pekerja WNI di Taiwan jauh lebih besar dari jumlah yang tercatat secara resmi.
Menurut Broto, jika melihat jumlah pelanggaran wilayah udara Taiwan yang dilakukan Tiongkok tercatat 20-30 kali per hari, ketegangan di kawasan tersebut diperkirakan akan meningkat.
Namun, kata Broto, di sisi Taiwan hal itu diperkirakan tidak akan memicu konflik terbuka, karena Taiwan lebih cenderung untuk mempertahankan status quo.
Mengingat ada kepentingan Indonesia yang cukup besar di Taiwan, Broto berharap, ada fleksibilitas dalam pelaksanaan kebijakan satu Cina yang telah disepakati.
Anggota Komisi I DPR RI periode 2019-2024, Muhammad Farhan berpendapat kebijakan satu Cina memiliki konsekuensi kita harus mampu memaknai hubungan dengan Taiwan dengan langkah yang tepat.
Menurut Farhan, Indonesia dapat berperan aktif dalam menjaga stabilitas di perairan Natuna Utara dengan membangun kerja sama antar negara-negara di kawasan tersebut, yang melibatkan Tiongkok dan Taiwan.
Dalam kerja sama tersebut, tegas Farhan, tentu kita harus selalu berpihak pada kepentingan Indonesia.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat perang Rusia-Ukraina tidak mampu menginspirasi pecahnya perang Tiongkok-Taiwan.
Karena, tegas Saur, secara energi dan kecukupan pangan, Tiongkok belum memadai untuk berperang.
“Kecukupan pangan Tiongkok saat ini sangat rendah untuk memenuhi kebutuhan pangan miliaran penduduknya bila perang terjadi,” ujar Saur.
Sehingga, kata dia, bagi Indonesia, langkah menyegerakan pembangunan angkatan perang yang tangguh bisa ditunda untuk mengedepankan upaya mengatasi pengangguran yang semakin meningkat di Indonesia.
(*)