Galang Gerak Bersama Wujudkan Perlindungan PRT Melalui UU PPRT
JAKARTA (12 Februari): Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional harus menjadi momentum mendorong gerak bersama untuk mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi PRT melalui Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT).
“Sampai hari ini kita masih memiliki pekerjaan rumah di tengah ragam kekerasan yang meningkat terhadap pekerja rumah tangga. Kita perlu duduk bersama mencari cara agar inisiatif untuk memberi perlindungan terhadap PRT dengan mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam sambutannya pada talkshow bertema Peringatan Hari PRT Nasional, Open Mic DPR: Afirmasi untuk Pengesahan UU PRT yang digelar Forum Diskusi Denpasar (FDD) 12 di Jakarta, Rabu (12/2/2025).
Talkshow yang dipandu Indra Maulana (jurnalis Metro TV) itu menghadirkan Putih Sari (anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra), Willy Aditya (anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem), Hj Ledia Hanifa Amaliah (anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera/PKS), Yuni Sri Rahayu (SPRT Sapulidi-Aktivis dan perwakilan Serikat Pekerja Rumah Tangga), dan Eva Kusuma Sundari (Direktur Institut Sarinah) sebagai narasumber.
Menurut Lestari, kondisi saat ini harus menjadi cambuk bagi kita semua bahwa ketidakadilan yang terjadi terhadap PRT menjadi tanggung jawab bersama.
Rerie, sapaan akrab Lestari, berharap dorongan dari para pemangku kepentingan untuk menguatkan dukungan dan mendesak percepatan pengesahan RUU PPRT terus dilakukan.
Pimpinan DPR RI, tegas Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, harus melihat dengan pikiran, hati, dan kehendak yang terbuka, betapa ketidakadilan terus terjadi dan dialami PRT akibat tiadanya perlindungan hukum.
Tanpa perlindungan menyeluruh terhadap PRT, ujar anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, negara belum sepenuhnya merealisasikan amanat konstitusi yang mewajibkan perlindungan bagi setiap warganya.
Eva Kusuma Sundari berharap tahun ini upaya penyelesaian RUU PPRT dapat segera membuahkan hasil.
Eva mengusulkan agar proses pengesahan RUU PPRT tahun ini dilandasi dengan pertimbangan HAM dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ia berharap pendekatan HAM bisa mempercepat proses pembahasan melalui Komisi XIII dengan surpres dan DIM yang sudah ada.
Sejatinya, ujar Eva, RUU PPRT merupakan instrumen perlindungan dua pihak, yaitu PRT dan majikan.
Secara de jure, tambahnya, RUU PPRT sudah diperintahkan untuk dilanjutkan pembahasannya. Namun, secara de facto seperti tidak diprioritaskan pembahasannya.
Willy Aditya mengungkapkan, pada hasil rapat paripurna yang berlangsung 29 September 2024, tidak ada status carry over pada pembahasan RUU PPRT.
Willy mengaku sudah bersurat kepada pimpinan DPR untuk menanyakan status pembahasan RUU PPRT, sebagai bagian dari political consensus.
Menurut Willy, RUU PPRT yang dibahas sudah mengatur perlindungan bagi tiga pihak, yaitu PRT, majikan, dan negara.
“Proses ini tinggal political commitment saja,” tegasnya.
Putih Sari mengaku mengetahui pembahasan RUU PPRT sejak periode 2009. Ia menegaskan Gerindra mendukung penuntasan pembahasan RUU PPRT pada periode ini.
Untuk menegaskan status carry over pada pembahasan RUU PPRT, menurut Putih, harus ada pembicaraan lebih lanjut antarpihak yang mendukung untuk mewujudkan UU tersebut.
Ledia Hanifa Amaliah mengungkapkan, belum jelasnya status carry over pada pembahasan RUU PPRT kerena belum ada pembicaraan dengan pemerintah, meski surpres dan DIM-nya sudah ada.
Ledia berpendapat, upaya lanjutan pembahasan RUU PPRT melalui Komisi XIII bisa dilakukan. Selain itu, tambah dia, konsensus pimpinan juga bisa diupayakan untuk mempercepat proses pembahasannya.
Menurut Ledia, Komisi IX dan Komisi XIII DPR bisa mencari jalan keluar untuk memperjelas
status carry over pembahasan RUU PPRT.
Yuni Sri Rahayu menilai proses pembahasan RUU PPRT seperti tidak ada kemajuan selama puluhan tahun. Padahal, kondisi PRT dari waktu ke waktu semakin tidak baik-baik saja. Bahkan, ancamannya semakin beragam. Dia berharap pembahasan RUU PPRT dapat dituntaskan pada periode ini.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, perjalanan panjang pembahasan RUU PPRT karena yang diatur adalah relasi kuasa antara majikan dan PRT di rumah yang memiliki kuasa.
“Hal itu yang tidak mudah,” tegas Saur.
Dalam kultur feodalisme, tambah Saur, mengoreksi relasi kuasa tidaklah mudah. Bila kondisi itu bisa diatasi, tegasnya, kita bisa berharap pada pemilu lima tahun mendatang RUU PPRT sudah menjadi undang-undang.
Saur menilai lingkungan para wakil rakyat saat ini termasuk yang tidak happy dengan koreksi relasi kuasa yang akan terjadi.
“Untuk mengoreksi relasi kuasa kita harus tekun mengerjakannya,” Saur mengingatkan. (*)