Fenomena Kabur Aja Dulu sebagai Otokritik untuk Lebih Baik ke Depan
JAKARTA (19 Februari): Fenomena Kabur Aja Dulu mesti diterima sebagai otokritik bagi kita untuk mendasari perbaikan sejumlah kebijakan dalam proses pembangunan nasional.
“Berbagai sudut pandang masyarakat terkait fenomena Kabur Aja Dulu harus disikapi dengan langkah-langkah positif demi mewujudkan kebijakan yang lebih baik,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema Fenomena “Kabur Aja Dulu” dan Realitas Generasi Muda Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Diskusi yang dimoderatori Nur Amalia (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Yudha Nugraha (Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia-Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri, Andriyanto (Ketua Peminatan Pemberdayaan Perempuan Prodi S2 PSDM Sekolah Pascasarjana Univeritas Airlangga), Hesti Aryani (Business Development Manager JANZZ Technology), Ismail Fahmi (Pendiri Drone Emprit), dan Lathifa Marina Al Anshori (Ketua Bidang Pemilih Muda dan Milenial DPP Partai NasDem) sebagai narasumber.
Menurut Lestari, fenomena tersebut unik. Pasalnya, kata Rerie, sapaan akrab Lestari, fenomena itu bisa dilihat secara sosial atau merupakan wake up call bagi pemangku kepentingan bagaimana generasi muda menyikapi tatanan bernegara yang ada.
Dengan kata lain, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, fenomena Kabur Aja Dulu bisa didorong oleh sulitnya masyarakat mengakses lapangan pekerjaan karena landscape pekerjaan yang sudah berubah.
Meski belum ada data konkret terkait penyebab peningkatan migrasi ke luar negeri, jelas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, kewaspadaan perlu dikedepankan dalam menyikapi dampak tagar Kabur Aja Dulu.
Rerie menegaskan, di tengah merebaknya tagar Kabur Aja Dulu saat ini, dirinya masih percaya generasi muda Indonesia mampu menjadi garda terdepan untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur di masa depan.
Yudha Nugraha mengungkapkan fenomena Kabur Aja Dulu disikapi pihaknya secara profesional.
Sejatinya, menurut Yudha, angka migrasi di dunia selalu meningkat dari rentang waktu 1970 (84 juta orang) hingga 2020 (280 juta).
Jadi, Yudha berpendapat, kondisi migrasi yang terjadi saat ini merupakan fenomena global. Tinggal, tambah dia, bagaimana kita mengelola migrasi tersebut dengan baik.
Menurut Yudha, merupakan tanggung jawab negara bila ada warganya ingin bermigrasi ke luar negeri.
Dia juga mengingatkan, tagar Kabur Aja Dulu berpotensi dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menawarkan migrasi secara ilegal ke luar negeri.
Andriyanto berpendapat, dalam Asta Cita yang dicanangkan pemerintah sejatinya juga bertekad untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Diakui Andriyanto, pertumbuhan komposisi usia kerja (15-64 tahun) penduduk Indonesia dari tahun 1970-2020 terus meningkat yaitu dari 53,39% pada 1970 menjadi 70,72% pada 2020.
“Melihat tren itu fenomena Kabur Aja Dulu saat ini adalah sebuah keniscayaan. Jadi bukan semata kabur, tetapi lebih pada mencari kehidupan yang lebih baik,” ujar Andriyanto.
Namun, tegas dia, fenomena Kabur Aja Dulu tidak bisa diabaikan begitu saja. Bila diabaikan, ujar dia, bisa muncul fenomena lainnya seperti ‘brain drain’ di mana kelompok profesional memilih menetap di luar negeri dan berpotensi pindah kewarganegaraan.
Kondisi itu, tambahnya, berpotensi menghambat pembangunan karena SDM berkualitas bermigrasi ke luar negeri.
Ismail Fahmi mengaku dirinya pernah menjalani fenomena Kabur Aja Dulu karena setelah lulus PhD belum mendapat pekerjaan.
Ismail mengaku tidak merasa ‘feel at home’ ketika itu sehingga akhirnya kembali ke Tanah Air. Alasan Ismail ketika harus ke luar negeri bukan semata-mata kabur, tetapi mencari pengalaman.
Menurut Ismail, fenomena Kabur Aja Dulu sejatinya sudah terjadi sejak 2023 dengan meningkatnya jumlah akun media sosial dengan konten berbagai informasi tentang peluang dan tips bekerja ke luar negeri.
Hesti Aryani berpendapat, migrasi itu berpotensi menjadi penggerak utama pembangunan suatu negara.
Jadi, jelas Hesti, fenomena Kabur Aja Dulu jangan dimaknai sebagai orang yang kabur dari negara, tetapi lebih kepada benefit jangka panjang yang bisa dihasilkan dari luar negeri.
Apalagi, tambah dia, selalu ingin membahagiakan keluarga merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia.
Lathifa Marina Al Anshori menilai berbagai alasan yang melatarbelakangi munculnya tagar Kabur Aja Dulu.
Menurut Lathifa, alasan itu antara lain kesempatan kerja yang kurang di dalam negeri dipicu sejumlah perusahaan yang gulung tikar, biaya hidup naik, dan sejumlah alasan lainnya.
Lathifa mengajak agar semua pihak melihat fenomena Kabur Aja Dulu secara positif dengan berharap mereka yang ke luar negeri dapat kembali ke Tanah Air dengan hal-hal yang positif bagi Indonesia.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat apa pun faktor pendorong Kabur Aja Dulu adalah baik.
Bagi orang muda, tegas Saur, semakin ‘terbang jauh’ semakin bagus. Dari sisi makna kata ‘kabur’ itu tidak berarti minggat dan kata ‘aja dulu’ itu mengandung makna sementara.
Jadi, ujar dia, Kabur Aja Dulu hanya sementara perginya untuk kembali ke Tanah Air kemudian.
“Setelah makan asam garam di luar negeri, kembali ke Tanah Air dengan bekal ilmu dan pengalaman yang lebih baik,” jelas Saur.
(*)