Patriotisme Perempuan Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa

JAKARTA (5 Maret): Patriotisme perempuan harus dibangkitkan agar mampu mendorong semangat bersama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dalam mengisi kemerdekaan.

“Berbagai kisah perjuangan perempuan mengisi lembar sejarah perjuangan bangsa kita sejak dulu. Perjuangan perempuan adalah perjuangan yang berkelanjutan,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi bertema Peringatan Hari Perempuan Internasional 2025-Patriotisme Perempuan: Dulu, Kini, dan Nanti, yang diselenggarakan MPR RI bersama Forum Diskusi Denpasar 12 dan Keluarga Besar Wirawati Catur Panca, di Ruang Delegasi, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).

Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Pia Feriasti Megananda (Ketua Umum Wirawati Catur Panca), Ninik Rahayu (Ketua Dewan Pers), dan Nicky Clara (Social Entrepreneur) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Irine Hiraswari Gayatri (Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) sebagai penanggap.

Lestari menegaskan, perempuan di Nusantara sejak dahulu adalah perempuan yang tangguh. Di Aceh, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pada masa lalu bahkan dipimpin para sultana dengan pemikiran yang jauh melampaui zamannya.

Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu mengungkapkan, pada abad ke-16 ada pejuang perempuan bernama Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menerapkan konsep poros maritim di Nusantara untuk menggalang aliansi dalam melawan Portugis.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap momentum diskusi tentang patriotisme perempuan dapat membangkitkan semangat kaum perempuan untuk sama-sama bergandeng tangan menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum selesai dalam proses pembangunan.

Pada sambutan tertulisnya, Pia Feriasti Megananda mengungkapkan, acara diskusi tentang patriotisme perempuan merupakan simbol perjuangan bangsa yang juga melibatkan perempuan.

Menurut Pia, peran perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa terus berkelanjutan sejak masa lalu, masa kini, hingga masa datang.

Di masa lalu, ujarnya, pejuang perempuan memiliki patriotisme yang tinggi. Selain memperjuangkan kemerdekaan, pejuang perempuan juga memperjuangkan hak-hak mereka.

Ninik Rahayu mengungkapkan keterlibatan aktif perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan di sejumlah bidang sudah terjadi sejak dahulu. Namun, tambah dia, di era saat ini, pada sejumlah kasus, perempuan tidak dipandang sama dengan laki-laki.

Diakui Ninik, dalam konteks penerapan kesetaraan gender saat ini ada kemajuan. Namun, di beberapa sektor terjadi stagnasi, bahkan kemunduran.

Penerapan aturan yang berbeda berdasarkan suku, ras, dan agama, ujar Ninik, menyebabkan stagnasi penerapan kesetaraan gender di sejumlah sektor.

Sejumlah regulasi, ungkapnya, mendorong terjadinya diskriminasi yang memicu tindak kekerasan dan sejumlah hal yang merugikan perempuan.

Oleh karena itu, ujar dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan dalam hal penerapan kesetaraan gender di Tanah Air.

Nicky Clara mengungkapkan dirinya terlahir sebagai perempuan disabilitas yang menghadapi tantangan berlapis-lapis. Stigma terkait perempuan dan disabilitas sangat kuat. Bahkan di sejumlah daerah, perempuan disabilitas sampai dikurung.

Menurut Nicky, bila tidak mengikutsertakan perempuan dalam pengembangan ekonomi, negara akan kehilangan. Tetapi, tambah dia, faktanya hanya kurang dari 30% perempuan yang melek keuangan.

Karena itu, ujarnya, upaya pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi merupakan langkah yang penting.

Irine Hiraswari Gayatri berpendapat, gerakan perempuan berkembang sesuai zamannya, tetapi ada yang konsisten dalam setiap perjuangan yaitu militansi.

Diakui Irine, keberhasilan gerakan perempuan seringkali bergantung pada faktor lokal dan global. Selain itu, tambah dia, juga menghadapi tantangan dalam konteks kondisi sosial dan ekonomi.

Menurut dia, sejumlah langkah afirmasi di bidang politik sejatinya upaya untuk mengakselerasi keterwakilan perempuan di parlemen. Namun, upaya itu tidak dibarengi dengan pendidikan politik yang memadai bagi perempuan.

Wartawan senior Saur Hutabarat menyatakan saat ini di Kabinet Merah Putih terdapat lima menteri perempuan dan sembilan wakil menteri perempuan.

Kondisi itu, sesuatu yang belum pernah terjadi. Bila itu berhasil, di masa depan kita akan punya sembilan menteri perempuan.

Tetapi, ujar Saur, ada juga bidang-bidang yang tidak pernah dijabat oleh perempuan, sekarang dijabat perempuan, seperti Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Wakil Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi. “Bila angle itu yang dipakai saya tidak melihat ada regresi,” ujar Saur.

Saur khawatir, label yang dibuat terhadap perempuan dan laki-laki itu memperkuat diskriminasi.

Sebagai contoh, tambah Saur, kata bangsawan tidak ada bangsawati, negarawan tidak ada negarawati, rupawan tidak ada rupawati.

“Mengapa sampai ada kata taruna dan taruni? Taruna itu berasal bahasa Pali rumpun Indo Arya yang artinya muda,” ujarnya.

Jadi, tegas Saur, justru penciptaan bahasa itulah yang menyebabkan penguatan diskriminasi. Menurut Saur, kondisi tersebut harus dikoreksi melalui alam pikiran dalam berbahasa. (*)

Add Comment