Perlu Evaluasi Besar-Besaran untuk Menjamin Netralitas ASN dalam Pemilu

JAKARTA (7 Maret): Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Habibur Rochman, memberikan catatan kritis terhadap evaluasi pemilu, khususnya terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam pesta demokrasi.

“Jadi kita ketika RDP dengan Menteri Dalam Negeri, Menpan-Rebiro, dan BKN terkait dengan netralitas ASN, bahwa sudah jelas dalam Pasal 2 UU No. 5/2014, ASN dilarang terlibat dalam politik dukung mendukung dalam politik praktis, dan harus menjaga netralitas sebagai ASN,” ujar Habibur dalam Podcast Orator, Jumat (7/3/2025).

Legislator Partai NasDem dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VIII (Madiun, Mojokerto, Jombang, dan Nganjuk) itu mengungkapkan, praktik keterlibatan ASN relatif sukar dikendalikan.

Bahkan, keterlibatan politik praktis juga dilakukan para penjabat (pj) kepala daerah. Oleh karena itu, perlu evaluasi secara besar-besaran dalam menata sistem politik yang tegas melarang ASN terjun ke politik praktis.

“Tapi pada praktiknya susah untuk dikendalikan. Bahkan ketika kita RDP beberapa kali dengan pihak terkait dan BKN, tidak hanya ASN saja tapi pj wali kota malah ikut dukung-mendukung dan tim sukses, bukan menjadi wasit yang baik,” ungkapnya.

Gus Habib, sapaan akrab Habibur Rochman, menilai keterlibatan ASN dalam politik praktis pun ditengarai karena alasan transaksional. Hal itu tak hanya terjadi di satu daerah saja.

“Kemarin saya sempat sentil terkait dengan Mojokerto, karena itu kelihatan mata. Ada beberapa kepala dinas yang saya ketahui terlibat aktif langsung dukung-mendukung, dan kemudian mengampanyekan calon tertentu,” paparnya.

“Ketika saya tahu, saya protes, saya sentil, saya tegur bahwa ini kan dilarang ASN ikut campur dalam politik praktis dukung-mendukung. Saya juga sempat dapat aspirasi dari teman-teman satu fraksi di beberapa daerah, ada juga pj yang enggak netral,” kata dia.

Menurutnya, tukar tambah politik transaksional yang dilakukan ASN dalam pemilu harus menjadi substansi evaluasi.

“Artinya apa? Kalau misalkan jabatan kepala dinas dan lain-lain didapatkan dengan cara seperti itu, ya jangan heran meraka membantu, kemudian menjadi tim sukses. Padahal dia jelas-jelas bagian dari abdi negara yang tidak boleh ikut campur dan terlibat langsung,” ujarnya.

Praktik dukung-mendukung dalam gelaran pemilu, menurutnya, memiliki daya rusak demokrasi yang tinggi, termasuk mengoyak tatanan sistem merit di tubuh birokrasi.

“Itu kan paling pada ujungnya politik transaksional. Kalau nanti semisal ada bosnya yang didukung jadi, dia akan menjadi kepala dinas, sekda, dan lain-lain. Terus bagaimana kita menerapkan sistem merit? Meritokrasi yang selama ini kita ketahui dalam Pasal 1 UU No. 5/2014 untuk melindungi setiap ASN dari ancaman politik praktis malah begitu mudahnya dilanggar,” pungkasnya.

Simak selengkapnya dalam Podcast Orator di kanal YouTube Resmi Fraksi Partai NasDem DPR RI

(Safa/*)

Add Comment