Bangun Kesadaran Bersama untuk Atasi Persoalan Sampah

Getting your Trinity Audio player ready...

JAKARTA (30 April): Membangun kesadaran bersama setiap warga negara untuk fokus mengatasi pekerjaan rumah terkait persoalan sampah harus segera dilakukan.

“Sejatinya mengelola lingkungan hidup dan menyelesaikan persoalan sampah harus dipahami sebagai gerakan kebangsaan, seperti yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Gotong Royong Mengatasi Darurat Sampah, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu (30/4/2025).

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Sugeng Suparwoto (Wakil Ketua Komisi XII DPR RI), Junaidi, MT (Asisten Perekonomian dan Pembangunan Pemerintahan Kabupaten Banyumas), dan Titik Nuraini (Ketua Komunitas Peduli Kali Loji) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Putri Rosmalia Octaviyani (Wartawan Media Indonesia Bidang Lingkungan Hidup) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyatakan tentang kewenangan negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam.

Itu berarti, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, negara memiliki hak untuk mengatur, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut.

Di sisi lain, tambahnya, negara juga mesti hadir dalam berbagai upaya melestarikan lingkungan hidup dengan melibatkan seluruh anak bangsa.

Termasuk, dalam hal pengelolaan sampah sebagai bagian upaya merawat bumi.

Peringatan Hari Bumi Internasional pada 22 April lalu, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, mengingatkan kita bahwa pekerjaan rumah terkait pengelolaan sampah di negeri ini masih banyak yang belum tuntas.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar semua pihak membangun kerja sama dengan baik dalam pengelolaan sampah dan membangun kesadaran masyarakat untuk mengatasi darurat sampah.

Sugeng Suparwoto berpendapat, problem sampah yang paling akut adalah membangkitkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya mengelola sampah.

Menurut Sugeng, dalam perkembangannya saat ini sampah bahkan menjadi salah satu penyebab banjir, menimbulkan persoalan lingkungan secara fisik dan sosial.

Sugeng menilai, konsep tata kelola sampah di Indonesia secara umum masih dalam bentuk upaya pencegahan dengan meminimalkan produksi sampah melalui pemanfaatan ulang, daur ulang, hingga open dumping.

Saat ini, ujar Sugeng, sejumlah upaya menekan produksi sampah sudah dimulai antara lain dari produsen dengan mendesain ulang produk tanpa kemasan, retail tidak menyediakan kantong plastik, dan perbaikan gaya hidup yang mengedepankan pemanfaatan ulang sebuah produk.

Diakui Sugeng, energi di Indonesia masih dihasilkan dari bahan bakar fosil. Dalam konteks pengelolaan sampah, menurut Sugeng, harus diarahkan bagaimana sampah bisa menjadi penopang swasembada energi dan bahan bakar rendah karbon.

Saat ini, ungkap Sugeng, pihaknya sedang melakukan revisi UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, dalam upaya mengubah paradigma pengelolaan sampah yang menekankan pada pengurangan dan penanganan sampah.

Junaidi mengungkapkan, pengelolaan sampah di Kabupaten Banyumas saat ini sudah didelegasikan kepada kelompok swasembada masyarakat.

Dengan luas wilayah lebih dari 139.115 hektare, ujar Junaidi, Kabupaten Banyumas sudah tidak memakai pengelolaan sampah konvensional seperti open dumping.

Junaidi mengungkapkan, Kabupaten Banyumas juga pernah mengalami darurat sampah, ketika sejumlah tempat pembuangan akhir sampah ditutup oleh masyarakat.

Menurutnya, salah satu solusi yang dihadirkan adalah program sulap sampah menjadi uang (Sumpah Beruang) yang memadukan gerakan ekonomi sirkular, pemberdayaan masyarakat, dan gotong royong.

Titik Nuraini berpendapat, keterlibatan aktif masyarakat di lapangan sangat penting dalam upaya mengelola sampah.

Kepercayaan yang tumbuh dari masyarakat untuk bersama-sama mengelola sampah dengan baik, ujar Titik, merupakan hasil dari proses pendekatan yang dilakukan.

Antara lain, ungkap Titik, konsisten melakukan aksi bersama masyarakat membersihkan sungai, saluran air di lingkungan tempat tinggal, sehingga terbangun kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.

Menurut Titik, strategi menumbuhkan aksi kolektif komunitas dan warga penting untuk dilakukan dalam upaya menumbuhkan budaya baru memilah sampah dalam upaya menjaga kebersihan lingkungan.

Diakuinya, pola pikir lama masyarakat masih jadi kendala di lapangan, karena mereka masih beranggapan bahwa menjaga lingkungan bukan tanggung jawab masyarakat.

Titik berpendapat, gotong-royong bukan sekadar gerak bersama-sama semata, tetapi lebih jauh lagi harus secara kolektif, lintas sektor dan kelas.

Putri Rosmalia Octaviyani berpendapat, permasalahan sampah di Indonesia dari tahun ke tahun tidak banyak berubah.

Peristiwa kebakaran tempat pembuangan akhir sampah, ujar Putri, selalu terjadi secara bergantian di sejumlah daerah.

Secara umum, tambahnya, penerapan pengelolaan sampah yang baik belum sepenuhnya dilakukan di daerah-daerah. Padahal, tambah dia, permasalahan sampah juga bisa memicu masalah sosial.

Edukasi sejak dini terkait sejumlah isu lingkungan, menurut Putri, penting untuk dilakukan.

Selain itu, imbuhnya, butuh komitmen yang kuat dari pemerintah daerah untuk menerapkan sistem pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan.

Wartawan senior Saur Hutabarat mengungkapkan pentingnya menanamkan nilai-nilai untuk membuang sampah pada tempatnya.

Kampanye terkait hal itu, jelas Saur, bisa melalui media massa atau bahkan media sosial.

Selain itu, tambahnya, jika ada daerah yang sukses mengelola sampah dengan baik, seperti Banyumas, bisa dipelajari, ditiru, dan dilaksanakan.

“Bila negara lain sudah mengaplikasikan pengelolaan sampah seperti di Banyumas, mengapa daerah lain tidak segera menirunya?” ujar Saur.

(*)

Add Comment