Dekadensi Moral dan Hilangnya Jiwa Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa

Getting your Trinity Audio player ready...

Sebuah Kajian Psikologi Islam

Oleh Ayu Alwiyah Al-Jufri
(Anggota Dewan Pertimbangan DPP Partai NasDem)

INDONESIA dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan spiritual, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun dari dasar negara, Pancasila. Namun, realitas kontemporer menunjukkan adanya gejala dekadensi moral: merebaknya korupsi, kekerasan, intoleransi, hingga gaya hidup hedonistik.

Banyak kalangan menilai bahwa jiwa Pancasila kian memudar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.

Nilai-nilai luhur Pancasila sejatinya sejalan dengan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Setiap sila mencerminkan prinsip-prinsip universal yang diajarkan dalam Islam, seperti tauhid, keadilan, persatuan, musyawarah, dan kepedulian sosial.

Berikut adalah padanan sila Pancasila dengan landasan Islam.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa: QS. Al-Ikhlas: 1: “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa.” Hadits: “Barangsiapa mengucap ‘La ilaha illallah’ akan masuk surga.” (HR. Bukhari-Muslim).

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: QS. An-Nahl: 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan…” Hadits: “Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim)

3. Persatuan Indonesia: QS. Ali Imran: 103: “Dan berpeganglah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai.” Hadits: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang adalah seperti satu tubuh…” (HR. Bukhari-Muslim).

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: QS. Asy-Syura: 38: “…dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.” Hadits: Nabi SAW kerap bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam berbagai urusan.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia: QS. An-Nahl: 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil…” Hadits: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari-Muslim).

Pancasila dan Moralitas Bangsa

Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan cerminan karakter luhur bangsa Indonesia. Jika nilai-nilainya diamalkan secara utuh, kehidupan masyarakat akan menjadi lebih harmonis, adil, dan bermartabat.
Namun, ketika Pancasila hanya menjadi slogan kosong tanpa penghayatan, masyarakat pun kehilangan arah moral dan spiritual.

Al-Qur’an dan Realitas Sosial: QS. Ar-Rum: 41,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…”

Relevansi: Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan moral adalah akibat penyimpangan manusia dari nilai-nilai ilahiah dan prinsip dasar seperti Pancasila.

Pandangan Psikologi Islam terhadap Dekadensi Moral

Dalam psikologi Islam, manusia memiliki fitrah kecenderungan alami untuk beriman dan berbuat baik. Namun, fitrah ini bisa tertutupi oleh nafsu (dorongan hawa nafsu), qalb (hati yang sakit), dan lemahnya ruhiyah (spiritualitas).

Dekadensi moral muncul ketika hawa nafsu menguasai akal dan qalb, sehingga seseorang kehilangan kepekaan moral.

QS. Asy-Syams: 7–10: “Sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa)nya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”

Proses tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa menjadi solusi utama dalam psikologi Islam. Proses ini melibatkan:

1. Muhasabah: introspeksi diri
2. Mujahadah: melawan hawa nafsu
3. Taubat: kembali kepada Allah
4. Riyadhah: latihan ibadah dan akhlak
5. Ilmu: pembelajaran berkelanjutan
6. Lingkungan yang baik: berada dalam komunitas yang saleh.

Hilangnya Jiwa Pancasila

Ketika masyarakat tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup, nilai-nilai seperti keadilan, kemanusiaan, dan gotong royong menjadi asing.

Dalam sudut pandang psikologi Islam, hal ini merefleksikan krisis kepribadian kolektif—akal tidak lagi dibimbing wahyu, dan hati kehilangan cahaya ilahi.

Solusi: Integrasi Nilai Islam dan Pancasila

Pemulihan karakter bangsa tidak cukup hanya melalui pendidikan formal atau penegakan hukum. Diperlukan pendekatan ruhaniyah yang menyentuh aspek terdalam manusia.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan:
1. Tazkiyatun Nafs Sejak Dini: Menanamkan tauhid kepada anak; membiasakan ibadah dengan pendekatan yang menyenangkan; menanamkan cinta dan takut kepada Allah; melatih adab dan akhlak mulia; membangun rumah tangga bernuansa religius; muhasabah harian dan pembiasaan doa; dan keteladanan dari orang tua.

2. Pendidikan Karakter Berbasis Tauhid dan Nasionalisme: Menanamkan iman sebagai fondasi hidup; mengajarkan akhlak sebagai bagian dari iman; membangun nasionalisme Islami; menyisipkan nilai Islam dan kebangsaan secara tematik.

3. Keteladanan Tokoh: Umar bin Khattab yang adil dan sederhana; KH Ahmad Dahlan: mendidik dengan hati; Imam Al-Ghazali: cendekiawan yang rendah hati.

4. Penguatan Ukhuwah Wathaniyah dan Nilai Kemanusiaan: Mengedepankan toleransi antar umat dan suku; membangun kesadaran kemanusiaan universal; menghindari kekerasan dan menyebarkan kasih sayang; mengajarkan pentingnya damai dan persaudaraan.

Semua pendekatan di atas mencerminkan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, bukan hanya dalam retorika.

Dekadensi moral dan hilangnya jiwa Pancasila adalah dua sisi dari krisis karakter bangsa. Melalui pendekatan psikologi Islam, kita tidak hanya diajak membenahi sistem sosial, tetapi juga menyucikan jiwa. Indonesia yang adil, damai, dan bermartabat hanya dapat terwujud apabila moralitas dibangun dari dalam diri setiap anak bangsa.

Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab mulia untuk membangkitkan kembali semangat Pancasila dan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan.

Kita harus menyadari jati diri sebagai anak bangsa yang dipersatukan oleh keberagaman, serta menolak segala bentuk perpecahan atas dasar SARA atau kepentingan sempit.

Melalui pendidikan moral dan spiritual yang konsisten sejak dini, kita menanamkan kejujuran, tanggung jawab, dan rasa cinta tanah air dalam hati setiap insan.

Dengan menjadi agen perubahan memberi teladan kebaikan, keadilan, dan toleransi di lingkungan terdekat kita menghidupkan kembali gotong royong dan kepedulian sosial.

Maka, hendaknya setiap langkah kita senantiasa berlandaskan tauhid dan musyawarah, sehingga Indonesia dapat maju sebagai bangsa yang tidak hanya cerdas dan mandiri, tetapi juga bermartabat, berakhlak mulia, dan rahmatan lil ‘alamin.

(WH/GN)

Add Comment