Ratih Singkarru Dorong Kolaborasi Multipihak Antikekerasan Seksual Anak
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (22 Mei): Kekerasan seksual pada anak masih menjadi momok menakutkan. Berdasarkan catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sepanjang 2024 ada 11.770 kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dari usia 6-17 tahun.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ratih Megasari Singkarru, mendorong kolaborasi multipihak untuk antikekerasan seksual, baik di keluarga, sekolah, dan lingkungan.
“Pendidikan antikekerasan juga harus menjadi tanggung jawab bersama, baik guru, sekolah, orangtua, lembaga perlindungan anak, bahkan penegak hukum,” ujar Ratih dalam diskusi daring bertema Pentingnya Pendidikan Antikekerasan Seksual di Sekolah, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Perlindungan anak dari bahaya kekerasan seksual harus berjalan secara menyeluruh dan terintegrasi. Anak-anak harus aman dan nyaman di setiap lingkungannya.
“Saya terkejut sekali. Bayangkan lebih dari 10.000 anak yang seharusnya disambut dengan rasa aman, justru mereka menjadi korban kejahatan yang sangat menyakitkan,” ujar Ratih.
Bahkan, imbbuhnya, kekerasan itu kerap terjadi di lingkungan yang sangat dikenal oleh anak. Baik di keluarga, sekolah, maupun komunitas.
“Rumah yang seharusnya tempat paling aman, sekolah, bahkan komunitas yang seharusnya menjadi benteng perlindungan, justru menjadi ruang yang sangat tidak aman bagi mereka,” katanya.
Ratih mendorong agar anak-anak diberikan pemahaman terkait literasi tubuh sejak dini. Anak berhak untuk memahami dan mengenal tubuh mereka, serta tahu bagian mana yang privat dan mana yang publik. Selain itu, tradisi diam harus dihilangkan. Setiap anak harus menyuarakan ketika ada yang bertindak melewati batas.
“Mereka tidak boleh diam, mereka boleh bicara tentang itu. Seharusnya mereka tidak harus malu, dan juga tidak harus merasa bersalah,” imbuhnya.
Menurut Ratih, anak yang sudah diajarkan terkait literasi tubuh, dan berani berbicara, pelan-pelan tumbuh rasa ketahanan terhadap kekerasan seksual.
“Jadi anak yang tahu bagaimana penolak itu, mereka ini akan lebih terlindungi daripada anak yang hanya diajari untuk diam, tunduk, atau menyimpan luka,” tegasnya.
Lebih lanjut Ratih juga mendorong agar penggunaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) diperluas. Prinsip-prinsip dalam UU tersebut harus bisa diterjemahkan dalam bentuk pendidikan yang komunikatif, ramah usia, sesuai konteks budaya lokal.
“Tugas kita inilah sebagai negara dan masyarakat, bagaimana cara membumikan nilai hukum ini menjadi nilai kehidupan. Agar anak-anak tidak hanya tahu bahwa kekerasan itu salah, tapi dia juga tahu bagaimana cara menghindarinya, dan juga yang terpenting bagaimana cara mencari pertolongannya juga,” tukas Ratih.
(Yudis/*)