Membedah Krisis Kesehatan Infeksi Menular Seksual di Puncak Bogor (2)
Getting your Trinity Audio player ready...
|
Oleh: Kolonel (Purn) dr. Friedrich Max Rumintjap, SpOG, Subspes.Obginsos, MARS
Ketua DPD NasDem Kabupaten Bogor/ Praktisi Kesehatan
BELAJAR dari kasus pesta gay di Puncak Bogor dan eksesnya, apa yang harus kita lakukan?
Yang pasti, kebutuhan kita bukan hanya skrining massal, melainkan integrasi sistem kewaspadaan kesehatan berbasis spasial yang mampu membaca mobilitas manusia sebagai potensi risiko, bukan sekadar angka kependudukan.
Jika kita meninjau pendekatan administrasi kesehatan berbasis harm reduction, maka menjadi jelas bahwa penanganan berbasis hukum pidana tidak cukup.
Sistem yang ideal seharusnya mampu hadir lebih awal melalui kanal skrining sukarela, layanan konseling yang aman, serta mekanisme pelaporan anonim di lokasi-lokasi yang berpotensi menjadi titik berkumpulnya populasi berisiko tinggi.
Negara seperti Belanda telah membuktikan bahwa venue-based testing yaitu layanan skrining di tempat-tempat sosial terbukti mampu menekan penularan HIV tanpa menciptakan stigma.
Jika Indonesia terus terpaku pada pendekatan reaktif dan moralistik, maka kita akan gagal menjawab kebutuhan masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian sosial, stigma seksual, dan isolasi administratif.
Ketika negara gagal menjangkau, maka masyarakat akan mencari jalan sendiri yang kadang di luar radar legal, di luar pelindung kesehatan, dan di luar jangkauan bantuan apa pun.
Maka dari itu, pendekatan NOISE sangat relevan. Kerangka ini bukan sekadar akronim, tetapi metode berpikir sistemik untuk membaca titik-titik gagal dalam governance.
Dalam elemen pertama, Need, kita diajak mengajukan pertanyaan mendasar, yaitu kebutuhan apa yang tidak terlihat oleh sistem?
Jawabannya: sistem kesehatan yang berpihak pada kelompok marjinal, yang mampu melintasi batas yurisdiksi, dan yang melihat perubahan sosial sebagai sinyal, bukan ancaman.
Puncak adalah contoh nyata dari kebutuhan itu. Ia bukan anomali, tetapi gejala umum dari sistem kesehatan publik kita yang masih buta terhadap realitas. Maka, jika kita ingin menyelamatkan lebih banyak nyawa, kita harus mulai dari sini: membangun sistem yang mampu mengenali kebutuhan, bahkan sebelum permukaan air bergelombang.
Opportunity: Menemukan Peluang dalam Kegagalan
Jika menyingkap kebutuhan yang tak terpenuhi oleh sistem kesehatan publik, maka tulisan bagian kedua ini, saya mengajak kita untuk melihat dari sudut yang lebih optimis bahwa di balik kebuntuan struktural, selalu ada celah untuk memulai sesuatu yang baru.
Dalam ilmu administrasi, krisis bukan hanya medan kegagalan, tetapi juga jendela kebijakan (policy window) yang terbuka lebar ketika tekanan sosial, bukti empiris, dan momentum politik bersinggungan.
Puncak, Bogor, yang selama ini dikenal sebagai zona nyaman pelarian urban, kini justru menjadi laboratorium sosial yang menguji ketahanan sistem kesehatan kita. Dari sanalah, peluang reformasi itu bisa dimulai.
Kabupaten Bogor, sebagai daerah dengan beban HIV tertinggi kedua di Jawa Barat, sedang berada pada simpul krusial. Temuan 30 kasus reaktif HIV dalam satu malam seharusnya tidak hanya dibaca sebagai insiden, melainkan sebagai indikator sistemik yang menuntut respons lintas sektor.
Dalam pendekatan Health in All Policies (HiAP), seperti dijelaskan oleh Avey et al. (2013), sektor kesehatan tidak bisa berdiri sendiri. Ketika kesehatan menjadi hasil dari interaksi antara pendidikan, pengelolaan ruang publik, tata niaga, hingga kontrol sosial berbasis komunitas, maka pendekatannya pun harus kolaboratif dan saling menyokong.
Kita harus mulai membongkar batas-batas administratif yang selama ini membuat Dinas Kesehatan seolah menjadi satu-satunya aktor utama. Padahal, Dinas Pariwisata punya peran krusial dalam pengawasan akomodasi wisata; Satpol PP punya otoritas untuk menegakkan ketertiban kegiatan kolektif; Kepolisian bisa berkontribusi dalam mitigasi kerentanan kriminal seksual; dan aparat wilayah seperti camat serta lurah punya jaringan sosial yang bisa dijadikan kanal literasi kesehatan dan pelaporan kegiatan berisiko.
Semua ini adalah peluang yang selama ini berserakan, tetapi belum diorkestrasi dalam satu partitur kebijakan kesehatan masyarakat yang komprehensif.
Jika kita kembali ke teori administrasi berbasis shared governance, maka momen Puncak seharusnya dijadikan pemicu untuk membentuk sistem manajemen kesehatan lintas kelembagaan.
Artinya, pemerintah daerah tidak lagi hanya menyusun program-program sektoral, melainkan membangun platform kebijakan bersama yang memfasilitasi pertukaran informasi, koordinasi anggaran, dan kesepakatan operasional antarlembaga.
Bahkan, sektor swasta seperti pemilik vila, pelaku pariwisata, dan perusahaan aplikasi pemesanan kamar dapat disertakan dalam desain kebijakan sebagai aktor administratif non-negara yang memiliki pengaruh langsung terhadap aktivitas populasi berisiko.
Pendekatan Health for All Policies (H4AP) seperti yang dijelaskan oleh Greer et al. (2022), memberikan tawaran baru bahwa kesehatan bukan hanya hasil dari kebijakan sektor lain, tetapi juga menjadi determinan keberhasilan sektor-sektor tersebut.
Misalnya, pengendalian HIV di kawasan Puncak tidak hanya menurunkan angka infeksi, tetapi juga berkontribusi pada reputasi pariwisata, mengurangi beban jaminan sosial, dan meningkatkan produktivitas warga lokal. Di sinilah peluangnya: menjadikan kesehatan bukan hanya indikator sosial, tetapi daya ungkit ekonomi dan jaminan reputasi wilayah.
Lebih lanjut, peluang administratif lainnya justru muncul dari disparitas spasial yang selama ini dianggap sebagai kelemahan. Kawasan Puncak yang memiliki mobilitas lintas kota, ternyata dapat menjadi titik masuk bagi intervensi berbasis wilayah.
Studi oleh Khundi et al. (2021) membuktikan bahwa spatially targeted interventions mampu menekan penyebaran penyakit berbasis komunitas, jika digerakkan melalui pelibatan warga lokal dan teknologi pelacakan risiko.
Artinya, pemetaan vila, peta sebaran event, dan data lalu lintas wisatawan sebenarnya bisa diintegrasikan ke dalam dashboard epidemiologis milik Dinas Kesehatan atau Komisi Penanggulangan AIDS. Ini bukan lagi wacana teknologi kesehatan masa depan, tetapi kebutuhan administratif hari ini.
Bogor memiliki seluruh elemen itu: desa siaga, puskesmas aktif, kelompok pemuda desa, kader posyandu, dan tokoh masyarakat yang dapat dilatih menjadi agen deteksi sosial. Konsep Health Scouts seperti yang dijalankan di Uganda (Long et al., 2017) menunjukkan efektivitas pelibatan warga sebagai komunikator perubahan perilaku dan fasilitator rujukan.
Jika itu dimodifikasi dalam format digital, pendekatan ini bisa dilengkapi dengan _dashboard_ pelaporan mandiri, pelatihan daring berbasis microlearning, serta kanal komunikasi anonim untuk warga yang ingin melapor tanpa takut stigma.
Namun, semua peluang ini hanya bisa diubah menjadi aksi jika ada kemauan politik. Political will adalah mata uang utama dalam dunia administrasi publik.
Tanpa keberanian kepala daerah untuk menjadikan isu HIV sebagai isu publik, maka semua peluang ini hanya akan menjadi dokumen, bukan gerakan.
Maka, peran penting administrasi di sini adalah mengidentifikasi momen kritis ini sebagai policy window memfasilitasi proses pengambilan keputusan lintas sektor, dan menginstitusikan kebijakan yang lebih tanggap terhadap dinamika sosial baru.
Dalam kerangka NOISE, terkait Opportunity mengajak kita melihat bahwa kelemahan sistemik bukan akhir dari segalanya. Ia justru menjadi titik tolak untuk membangun sesuatu yang lebih adaptif, partisipatif, dan tahan uji.
Bogor, dengan segala dinamika geografis, sosial, dan kelembagaannya, sedang berada pada titik strategis untuk memulai perubahan itu. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian administratif untuk mengubah peluang menjadi kebijakan nyata—sebelum krisis berikutnya datang mengetuk lebih keras.
Improvement: Dari Disonansi Kebijakan Menuju Tata Kelola Pencegahan
Jika kebutuhan telah diidentifikasi dan peluang telah ditangkap, maka tahap selanjutnya dalam pendekatan NOISE adalah perbaikan. Namun, dalam ilmu administrasi, perbaikan bukan sekadar koreksi teknis atau reaksi insidental.
Ia adalah upaya sistemik untuk menata kembali rantai tata kelola yang telah patah. Peristiwa di Puncak telah memberi kita gambaran nyata bahwa sistem saat ini berjalan terlalu lambat dalam mengenali, dan terlalu sempit dalam merespons.
Maka, tantangan kita adalah membangun sistem yang bukan hanya bereaksi terhadap krisis, tetapi mampu mencegahnya dengan kecermatan struktural.
Penegakan hukum terhadap pesta seks sesama jenis memang menjadi titik masuk diskursus publik, namun dari sudut pandang administrasi publik, intervensi semacam itu hanyalah hilir dari masalah.
Hulu dari krisis ini terletak pada absennya sistem pendeteksian dini, lemahnya tata kelola kegiatan berisiko di ruang privat komersial seperti vila wisata, dan rendahnya literasi kesehatan seksual di antara kelompok rentan.
Oleh karena itu, arah perbaikan harus berpindah dari model represif menuju arsitektur pencegahan yang berpihak pada harm reduction dan penguatan sistem informasi kesehatan komunitas.
Literatur global telah menggarisbawahi keberhasilan community-based HIV prevention sebagai fondasi utama dalam menekan laju penularan.
Abrams et al. (2023) menekankan bahwa tiga elemen—komunikasi kesehatan, aksesibilitas skrining, dan distribusi alat pencegahan—harus terintegrasi dalam level lokal.
Puncak, sebagai kawasan dengan mobilitas tinggi dan aktivitas sosial tertutup, justru membutuhkan intervensi yang lebih spesifik: regulasi skrining berbasis lokasi inap, kebijakan pelaporan kegiatan massal secara preventif, dan pelibatan komunitas lokal sebagai pelindung kesehatan publik.
Dalam kerangka administrasi adaptif, pendekatan HIV Prevention Cascade menjadi model yang menjanjikan. Seperti dipetakan oleh Krishnaratne et al. (2016), strategi ini menekankan bukan hanya ketersediaan layanan, tetapi juga permintaan terhadap layanan (demand creation), dan keberlanjutan perilaku sehat (adherence and support).
Pemerintah daerah harus mulai merancang protokol mikro yang memungkinkan skrining HIV dilakukan tidak hanya di puskesmas, tetapi juga melalui unit mobile VCT, pusat edukasi berbasis komunitas, dan pos kesehatan di kawasan wisata.
Protokol ini tidak hanya teknis, tetapi administratif—menuntut kepemimpinan lintas dinas dan tata kelola informasi yang terpadu.
Fenomena chemsex yang semakin sering dijumpai dalam jaringan pergaulan lintas kota juga menambah kompleksitas. European Drug Report (2025) menyebutkan bahwa kombinasi zat psikotropika dan aktivitas seksual tanpa pengaman meningkatkan risiko infeksi ganda dan overdosis.
Di sinilah perbaikan kebijakan harus mengintegrasikan antara layanan HIV dan strategi penanggulangan narkoba, bahkan jika harus menabrak batas sektoral yang selama ini kaku.
Persoalannya, apakah kita siap memiliki pos konseling di area wisata yang juga memberikan edukasi risiko konsumsi zat? Inilah pertanyaan administratif yang tak boleh dihindari jika kita ingin sistem berjalan sebelum terjadi krisis.
Perbaikan juga harus menyentuh lapis diskursif: cara negara berbicara tentang HIV dan populasi kunci. Pendekatan “status-neutral” sebagaimana diadvokasi Cabecinha dan Saunders (2022) menawarkan narasi baru yang lebih humanis dan inklusif.
Dengan menjadikan semua layanan HIV bersifat netral terhadap status pasien—baik reaktif maupun non-reaktif—maka stigma dapat dikurangi dan partisipasi meningkat.
Dalam administrasi kesehatan, ini berarti reposisi etika pelayanan publik: dari deteksi semata ke arah hubungan jangka panjang antara pasien dan sistem kesehatan.
Aspek lainnya yang sering luput dalam proses perbaikan adalah digitalisasi jalur pelaporan dan komunikasi risiko. Mengingat pesta di Puncak diselenggarakan melalui undangan tertutup berbasis media sosial, maka saluran yang sama juga harus digunakan untuk memperluas akses pencegahan.
Hotline berbasis WhatsApp, chatbot konseling HIV, serta kanal edukasi berbasis aplikasi lokal bisa menjadi alat penting.
Namun, inovasi ini hanya berjalan jika dimasukkan ke dalam desain regulasi daerah dan diadopsi lintas sektoral. Digitalisasi bukan semata alat, melainkan bagian dari transformasi kelembagaan.
Akhirnya, tata kelola risiko harus berbasis data spasial dan temporal. Pemanfaatan data lokasi vila, catatan penyewaan massal, serta pemantauan acara privat di kawasan wisata bisa digunakan untuk menyusun peta kerentanan epidemiologis.
Pemerintah daerah, melalui Dinas Kesehatan bisa merancang intervensi berkala berbasis kalender kegiatan wisata di Puncak.
Dengan demikian, penjangkauan kesehatan tidak bersifat reaktif, tetapi mengikuti pola sosial yang telah dapat diprediksi.
Dalam kerangka NOISE, elemen Improvement bukan hanya menyarankan “apa yang harus dilakukan”, melainkan menjawab “mengapa sistem yang ada belum cukup”. Maka, perbaikan bukan tambalan atas kebocoran, tapi rekonstruksi kelembagaan yang bersandar pada prinsip pencegahan, pemberdayaan komunitas, dan integrasi lintas sektor.
Bila perbaikan ini tidak segera diimplementasikan, kita hanya akan mengulang pola kegagalan yang sama, namun dengan jumlah korban yang lebih besar.
Perbaikan, dalam perspektif administrasi publik, adalah transformasi sistemik. Puncak Bogor dengan segala kompleksitas dan kerentanannya harus dijadikan titik mula dari perbaikan itu.(Bersambung)
(WH/GN)