Membedah Krisis Kesehatan Infeksi Menular Seksual di Puncak Bogor (3)
Getting your Trinity Audio player ready...
|
Oleh: Kolonel (Purn) dr. Friedrich Max Rumintjap, SpOG, Subspes.Obginsos, MARS
Ketua DPD NasDem Kabupaten Bogor/ Praktisi Kesehatan
DI tengah kegagalan administratif yang mengemuka dari peristiwa pesta seks sesama jenis di kawasan Puncak Bogor, kita sebenarnya tidak sedang berhadapan dengan sistem yang sepenuhnya mati.
Tapi, justru di sinilah prinsip paling mendalam dari ilmu administrasi diuji: bahwa setiap sistem, betapapun rapuh dan cacatnya, menyisakan elemen yang bisa diberdayakan.
Dalam pendekatan NOISE, tahap terakhir—Strength atau Exception—menyoroti simpul kekuatan yang masih bertahan di tengah anomali, sebagai fondasi untuk membangun kembali tata kelola kesehatan publik yang responsif, humanis, dan berkelanjutan.
Apa yang perlu dilakukan? Pertama adalah infrastruktur formal yang sesungguhnya telah ada: mulai dari Puskesmas, KPA daerah, jejaring kader kesehatan, hingga keberadaan Tim Reaksi Cepat di Dinas Kesehatan.
Dalam banyak kasus lain, unit-unit ini mampu merespons klaster penyakit menular secara cepat dan terukur. Maka, yang dibutuhkan bukan pembentukan institusi baru, melainkan penguatan pada elemen penggeraknya, baik kapasitas SDM, kewenangan respons cepat, maupun kejelasan koordinasi lintas wilayah.
Pengalaman penanganan covid-19 memberi pelajaran penting: sistem yang telah ada bisa diaktifkan luar biasa cepat ketika ada arahan yang jelas dan kepercayaan institusional yang tinggi.
Kedua, Indonesia sebenarnya telah memiliki strategi nasional penanggulangan HIV dan IMS yang relatif komprehensif, termasuk dengan penekanan pada populasi kunci dan pendekatan harm reduction.
Dalam dokumen resmi Kementerian Kesehatan, terdapat mandat untuk melakukan layanan VCT berbasis komunitas, intervensi sosial, serta promosi penggunaan kondom secara masif.
Namun, masalahnya bukan pada substansi kebijakan, melainkan dalam eksekusi di lapangan. Ini membuka peluang untuk menilai kembali gap implementasi (implementation gap) dengan melibatkan perguruan tinggi, media lokal, dan komunitas berbasis identitas sebagai jembatan antara regulasi dan realitas.
Ketiga, kekuatan komunitas yang selama ini terpinggirkan justru menjadi kekuatan yang selama ini diabaikan. Banyak kelompok komunitas gay, LSL, dan pendamping ODHA di kota-kota besar telah memiliki kapasitas organisasi, relasi internasional, bahkan infrastruktur digital sendiri.
Di saat negara ragu menjangkau wilayah-wilayah “sensitif”, komunitas-komunitas inilah yang selama ini menjadi pelindung terakhir. Ini bukan sekadar pengecualian dari sistem—ini adalah kekuatan sosial yang dapat dilembagakan secara administratif.
Lembaga publik seperti KPA, BPBD, dan Dinas Kesehatan harus mulai merumuskan kembali relasi kelembagaannya dengan aktor-aktor komunitas berbasis peran, bukan stigma.
Dalam administrasi modern, pengecualian (exception) tidak selalu berarti anomali negatif. Ia bisa menjadi pembuka terobosan, ketika hal-hal yang selama ini tidak diperhitungkan ternyata mampu memberikan solusi nyata.
Studi oleh Ostrom (2005) tentang governing the commons. menunjukkan bahwa sistem yang mengandalkan kepercayaan sosial dan protokol informal justru lebih tahan terhadap kompleksitas dibanding sistem yang semata-mata mengandalkan regulasi kaku.
Maka, pengecualian administratif bukan untuk dihapus, tetapi untuk diformalkan melalui negosiasi nilai antara negara dan komunitas.
Terakhir, kekuatan terbesar dari semua ini mungkin justru ada pada publik yang mulai peduli. Fakta bahwa warga setempat melaporkan aktivitas yang mencurigakan di vila tersebut bukan semata ekspresi keresahan, tetapi bentuk partisipasi sosial terhadap tata kelola risiko yang dirasa telah dilupakan oleh negara.
Dalam kerangka administrasi partisipatoris, ini adalah alarm dini—dan jika negara meresponsnya dengan baik, maka kepercayaan publik akan pulih.
Dengan demikian, bagian Strength/ Exception bukan sekadar penutup dari analisis NOISE, tetapi cermin bahwa tidak semua harus dimulai dari nol. Ada pilar-pilar yang masih berdiri; ada percikan energi administratif yang tersisa; ada kelompok masyarakat yang siap bergerak jika diberi ruang dan legitimasi.
Yang dibutuhkan adalah desain ulang sistem yang memampukan semua elemen itu bekerja bersama, bukan saling memusuhi.
Krisis di Puncak adalah pelajaran keras bahwa kelemahan sistem bisa berakibat fatal. Namun, sekaligus ia membuka peluang untuk menata kembali harapan, memperbaiki strategi, dan membangun ekosistem tata kelola kesehatan yang tidak hanya mampu menjangkau, tetapi juga memahami.
Bukan hanya karena kita takut pada wabah berikutnya, tetapi karena setiap warga, apa pun orientasinya, berhak untuk sehat, aman, dan dihormati—bukan diburu dalam gelap, tapi dibimbing menuju terang.
Exception: Tidak semua kekuatan bisa digunakan. Ada yang tumbuh karena konsistensi dan keberdayaan, namun ada pula yang sekadar bertahan karena sistem tak punya pilihan lain.
Dalam bingkai NOISE, exception bukan sekadar pengecualian teknis—tetapi refleksi mendalam atas ironi yang berjalan dalam diam: bahwa sistem kesehatan publik kita terus bergerak bukan karena sehat, melainkan karena tak pernah diberi ruang untuk istirahat, merenung, dan membenahi dirinya sendiri.
Kasus pesta seks di Puncak menjadi pengingat bahwa banyak hal dalam birokrasi kita masih berjalan berdasarkan budaya “asal jalan”, bukan karena logika kelembagaan yang kuat.
Puskesmas tetap buka meski kekurangan SDM, kader tetap turun ke lapangan walau tanpa pelatihan memadai, KPA tetap menyusun laporan tahunan meskipun dana sosialisasi terpangkas. Sistem bertahan—bukan karena didukung, tetapi karena dikorbankan.
Inilah pengecualian struktural yang justru menjadi norma dalam administrasi kesehatan lokal.
Lebih menyedihkan lagi, pengecualian ini kerap dibingkai sebagai prestasi. Ketika kasus HIV tidak naik signifikan di satu daerah, kita tepuk tangan, tanpa menyadari bahwa data itu bisa saja tertunda, disembunyikan, atau tak tercatat sama sekali.
Kita anggap rendahnya kunjungan VCT sebagai keberhasilan edukasi, padahal itu bisa jadi cerminan dari rasa takut warga untuk muncul dalam radar sistem. Di sinilah exception menjadi jebakan: ketika sistem merasa berhasil, padahal sebenarnya hanya sedang kehilangan sensitivitasnya.
Lebih jauh, pengecualian administratif juga terjadi pada relasi antara negara dan kelompok rentan. Masyarakat gay, LSL, dan ODHA selama ini diposisikan sebagai subjek intervensi—bukan mitra dalam tata kelola.
Mereka disebut sebagai “kelompok berisiko tinggi”, namun tidak pernah diberi ruang dalam perumusan program. Ini bukan lagi sekadar bias moral, melainkan kecacatan administratif yang merampas hak partisipasi sipil. Mereka menjadi pengecualian dari pelayanan publik yang adil, seolah ada dua jenis warga negara: yang dilayani dan yang diawasi.
Namun, dalam logika governance masa kini, pengecualian semacam ini tidak bisa terus dibiarkan. Karena ketika kelompok-kelompok ini kehilangan kepercayaan terhadap sistem, mereka akan membangun sistemnya sendiri—komunitas tertutup, klinik bayangan, bahkan saluran distribusi alat kontrasepsi yang tidak tercatat negara.
Maka negara bukan hanya kehilangan kendali, tapi kehilangan integritas sebagai entitas pelayanan publik.
Satu-satunya cara menghadapi pengecualian administratif ini adalah dengan mengakuinya. Tidak dengan malu, tetapi dengan keberanian etis.
Kita perlu menyadari bahwa sistem ini tidak sedang bekerja secara optimal. Kita harus menolak untuk terus merayakan statistik yang membaik sementara data dasarnya cacat.
Kita harus berhenti menganggap pelayanan sebagai beban anggaran, dan mulai melihatnya sebagai investasi kepercayaan sosial.
Maka dari itu, exception bukan penutup dari narasi ini, melainkan titik baliknya. Ini adalah panggilan untuk keluar dari logika “bertahan”, dan mulai memasuki logika “bertumbuh”.
Administrasi publik bukan sekadar pengaturan sumber daya, tetapi tentang merawat kehidupan warga dalam segala keberagamannya—termasuk yang selama ini dibisukan oleh stigma dan kebijakan yang setengah hati.
Ketika sistem kesehatan mampu mengakui siapa yang selama ini menjadi pengecualian, maka dari situlah titik reformasi sejati bisa dimulai.
Dari Puncak, kita belajar: bukan karena kekuatan sistem yang membuat kita selamat dari krisis, tetapi karena kelemahan itulah kita dipaksa untuk bertanya ulang, sudah sehatkah tata kelola kita? Sudah amankah warga kita yang tak terlihat? Sudah benarkah kita menyebut ini sebagai pelayanan publik?
(WH/GN)