Tarif Trump 32% Pukul UMKM Ekspor dan Ancam Lapangan Kerja
Getting your Trinity Audio player ready...
|
DEPOK (11 Juli): Kebijakan tarif tinggi sebesar 32% yang diberlakukan pemerintah Amerika Serikat terhadap sejumlah komoditas dari negara berkembang, termasuk Indonesia, dinilai sebagai ancaman serius bagi kinerja ekspor nasional.
Hal ini ditegaskan Ketua DPP Gerakan Restorasi Pedagang & UMKM (GARPU) Habib Mohsen Hasan Alhinduan, yang juga anggota Dewan Pakar Pusat Partai NasDem.
Menurutnya, kebijakan tarif tinggi ala Trump bukan sekadar urusan geopolitik atau proteksionisme ekonomi AS, tapi memiliki konsekuensi langsung terhadap keberlangsungan UMKM ekspor dan industri padat karya di Indonesia.
“Tarif 32% ini akan membuat produk Indonesia di pasar Amerika Serikat tidak lagi kompetitif. Ini bisa memicu anjloknya permintaan, dan ujung-ujungnya berdampak pada PHK massal serta tutupnya usaha kecil,” ujar Habib Mohsen dalam keterangannya, baru-baru ini.
Mohsen menyoroti bahwa sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, furnitur, produk kayu, dan makanan olahan sangat bergantung pada ekspor ke pasar AS. Mayoritas pelaku di sektor ini adalah UMKM dan industri padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja.
“UMKM memiliki margin keuntungan yang kecil. Ketika biaya ekspor melonjak akibat tarif, maka mereka tidak punya ruang untuk bersaing. Ini bahaya bagi ekonomi daerah dan kelas menengah ke bawah,” tegasnya.
Ia mendesak pemerintah Indonesia agar segera mengambil langkah diplomasi bilateral maupun multilateral guna memperjuangkan pelonggaran atau penghapusan tarif tersebut. Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat upaya diversifikasi pasar ekspor.
“Kita harus segera memperluas pasar ke Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan. Ketergantungan pada pasar AS harus dikurangi, atau kita akan terus jadi korban kebijakan negara besar,” tambahnya.
Dirinya menilai kebijakan tarif tersebut dapat menimbulkan efek berantai terhadap perekonomian nasional. Jika tidak segera direspons, tekanan terhadap sektor ekspor akan berimbas pada penurunan investasi, daya beli, hingga peningkatan angka pengangguran.
“Tarif ini bukan hanya urusan perdagangan, ini soal keberlangsungan ekonomi rakyat kecil. Pemerintah harus responsif, jangan sampai terlambat,” pungkasnya.
(WH/GN)