Legislator NasDem Dorong Percepatan Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban
JAKARTA (16 September): Anggota Komisi XIII DPR RI, M Shadiq Pasadigoe, menegaskan pentingnya percepatan pembahasan revisi UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dinamika hukum dan perkembangan kasus pidana menuntut adanya pembaruan regulasi yang lebih komprehensif.
Menurut Shadiq, perlindungan saksi dan korban merupakan amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan hak atas rasa aman. Implementasi prinsip tersebut harus dijalankan secara lebih kuat, mengingat posisi saksi dan korban kerap menghadapi ancaman serius baik secara fisik, psikis, maupun digital.
“Keberadaan saksi dan korban adalah kunci bagi tegaknya keadilan. Tanpa jaminan perlindungan yang nyata, proses hukum akan terhambat oleh rasa takut, intimidasi, dan ancaman. Karena itu, revisi undang-undang ini bukan sekadar kebutuhan, tetapi sudah menjadi urgensi nasional,” tegas Shadiq dalam keterangannya, Senin (15/9/2025).
Ia berharap revisi beleid tersebut membawa sejumlah penyempurnaan pokok. Di antaranya, penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan struktur yang lebih solid dan kewenangan yang jelas, termasuk perluasan keberadaan hingga daerah.
Perluasan definisi saksi, korban, pelapor, dan saksi pelaku (justice collaborator) agar sesuai dengan praktik peradilan modern. Penambahan hak saksi dan korban, seperti Victim Impact Statement (VIS), perlindungan data pribadi, serta pemulihan melalui Victim Trust Fund.
“Penguatan kerja sama antarlembaga dan antarnegara, mengingat banyak kasus pidana yang bersifat lintas yurisdiksi. Juga jaminan perlindungan digital, mengingat semakin maraknya ancaman berbasis teknologi informasi,” urai Shadiq.
Legislator Partai NasDem itu juga menyoroti pentingnya memastikan anggaran LPSK tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga memungkinkan dukungan melalui APBD agar perlindungan merata hingga pelosok daerah.
“Indonesia memiliki tantangan geografis dan sosial yang kompleks. Perlindungan saksi dan korban tidak boleh hanya berhenti di kota besar. Negara wajib hadir hingga ke desa-desa, hingga ke wilayah perbatasan,” tambahnya.
RUU Perlindungan Saksi dan Korban telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Hal tersebut menjadi bukti komitmen DPR untuk memperkuat sistem perlindungan saksi dan korban yang lebih responsif, inklusif, dan sesuai dengan perkembangan hukum terbaru, termasuk UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan KUHP baru.
Shadiq menekankan, penyusunan RUU tersebut juga akan melibatkan partisipasi publik secara bermakna melalui rapat, kunjungan kerja, serta forum-forum konsultasi lainnya.
“Partisipasi masyarakat adalah kunci. Perlindungan saksi dan korban bukan hanya urusan negara, melainkan tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, keterlibatan publik sangat penting agar regulasi ini benar-benar menjawab kebutuhan keadilan di masyarakat,” pungkasnya. (Tim media Shadiq/*)