Surya Paloh dan Negarawan Khasmawan Dalam Politik Indonesia

Oleh: Mohsen Hasan Alhinduan

(Anggota Dewan Pakar DPP Partai NasDem)

 

BEBERAPA motivator kelas dunia, seperti Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People, David J. Schwartz (The Magic of Thinking Big), Florence Littauer (Personality Plus), dan Gary Chapman (The Five Love Languages) telah menginspirasi penulis tidak hanya melalui karya-karyanya, tetapi juga melalui seminar-seminar yang sempat saya hadiri.

Dari seluruh literatur tersebut, penulis menarik kesimpulan bahwa kehidupan seseorang dibentuk oleh lingkungannya, namun juga ditentukan oleh kemampuannya dalam berkomunikasi, mempengaruhi orang lain, berpikir dan berjiwa besar, serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, sang pencipta alam semesta.

Seorang politisi ideal seharusnya memiliki ciri-ciri utama, yaitu mampu mengendalikan emosi, berpikir positif, tidak mudah menyerah, teguh dalam kebaikan, bersyukur, dan bertawakal kepada Tuhan.

Ia tidak mudah panik, tetap tenang menghadapi masalah, mengutamakan kepentingan bersama, mau memaafkan, tidak egois, serta memiliki etos kerja yang tinggi.

Kita menyadari bahwa, dalam imajinasi banyak orang, politik sering kali digambarkan sebagai medan keras yang penuh intrik, perebutan kekuasaan, dan manuver saling menjatuhkan.

Namun, di balik wajah keras itu, masyarakat tetap merindukan pemimpin yang tidak hanya cerdas secara strategis, tetapi juga kuat secara jiwa.

Indonesia, sebagai bangsa majemuk, memiliki banyak sumber nilai moral dan spiritual. Dari agama-agama besar di tanah air ini, kita menemukan kosakata kebajikan yang menekankan kesabaran, kerendahan hati, dan sikap memaafkan.

Dalam tradisi Hindu dikenal istilah Khasmawan; dalam Islam, sifat Halim dan Ṣabūr; sementara dalam ajaran Kristen, nilai serupa diwujudkan dalam konsep humble spirit (roh yang rendah hati).

Nama Surya Paloh kerap muncul ketika kita mencari figur politik yang dapat disandingkan dengan nilai-nilai kebajikan tersebut. Bukan karena ia tanpa cela, melainkan karena dalam banyak momen ia menunjukkan wajah politik yang sabar, tidak pendendam, dan rendah hati.

Surya Paloh adalah sosok yang meniti karier dengan penuh ketekunan. Ia melewati jalan berliku, menghadapi tantangan terjal dan curam, namun tetap teguh dengan kesabaran hingga mencapai puncak kesuksesan, baik sebagai pengusaha ulung, negosiator cerdas, maupun politisi andal.

Ia juga dikenal luas sebagai sosok yang bijak, seperti seorang “bapak bangsawan” atau negarawan yang patut diteladani.

Lintas Tradisi Agama dan Kebajikan

Dalam tradisi Hindu, Khasmawan merujuk pada sosok yang baik hati, penyabar, berbudi luhur, dan tidak pendendam. Ia bukan sekadar label sosial, melainkan pengakuan spiritual atas kualitas batin seseorang.

Sosok Khasmawan dipandang sebagai perwujudan nilai ksama, yaitu kebajikan yang mencerminkan kemampuan memaafkan dan menahan amarah.

Dalam Islam, makna serupa diungkapkan melalui sifat Halim (penyabar dan lembut) dan Ṣabūr (sabar). Nabi Ibrahim, misalnya, digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai sosok Halim (QS. At-Taubah: 114).

Demikian pula dalam ajaran Kristen, Yesus menyatakan dalam khotbah di bukit: “Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.” (Matius 5:5)

Ketiga tradisi ini menyatu dalam satu pesan universal: pemimpin sejati adalah ia yang mampu menakhlukkan dirinya sendiri.

Surya Paloh dalam Perspektif Khasmawan

Dalam perspektif Khasmawan, Surya Paloh memiliki:

1. Kesabaran di tengah dinamika politik: Surya Paloh telah puluhan tahun malang melintang di panggung politik nasional. Ia menyaksikan jatuh bangunnya rezim, naik-turunnya partai, hingga lahirnya poros politik baru. Namun, di tengah semua gejolak itu, ia dikenal tidak mudah terpancing emosi.

Ketika sebagian kader Partai NasDem memilih hengkang, ia tidak membalas dengan kata-kata kasar. Ia hanya menyatakan dengan tenang: “Jika kau masih ragu dengan misi besar perubahan, lebih baik engkau mencari jalan lain.”

Ungkapan ini sederhana, namun sarat makna. Ia mencerminkan sikap seorang Khasmawan, melepaskan dengan lapang dada, tanpa dendam. Dalam perspektif Islam, sikap ini selaras dengan nilai ‘afw’ atau memberi maaf meski mampu membalas.

2. Kerendahan hati dalam kepemimpinan: Sebagai pemimpin partai sekaligus pengusaha besar, Surya Paloh berpotensi menunjukkan arogansi kekuasaan.
Namun, justru sebaliknya, ia lebih sering tampil tenang, penuh wibawa, dan tetap membumi. Ia menekankan bahwa politik harus dijalani dengan nilai, bukan sekadar kalkulasi kursi.

Dalam tradisi Kristen, sikap ini disebut _humble spirit_. Pemimpin yang rendah hati bukan berarti lemah, melainkan berani menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Inilah yang membedakan seorang politikus biasa dari seorang negarawan sejati.

3. Tidak pendendam, politik sebagai jalan panjang: Sejarah politik Indonesia kerap diwarnai rivalitas yang berubah menjadi dendam pribadi. Namun, Surya Paloh menunjukkan jalan berbeda. Ia memahami bahwa politik adalah perjalanan panjang, hari ini lawan, besok bisa menjadi kawan.

Sikap ini selaras dengan konsep Hindu tentang Khasmawan yang mengajarkan bahwa dendam adalah energi negatif yang mempersempit ruang gerak.

Bagi Surya Paloh, politik adalah seni merangkul, bukan seni menyingkirkan.

Indonesia Membutuhkan Politikus Khasmawan

Mengapa istilah Khasmawan penting dalam konteks politik hari ini? Karena bangsa ini sedang mengalami krisis keteladanan. Politik sering dipandang semata sebagai ruang transaksional.

Namun di tengah iklim seperti itu, kehadiran tokoh yang menampilkan kesabaran, kerendahan hati (humility), dan sikap memaafkan menjadi sangat berharga.

Kita belajar bahwa politik tidak harus selalu tentang konfrontasi. Ia juga bisa menjadi ruang untuk merawat kesetiaan, harapan, dan kebersamaan.

Lebih jauh lagi, penggabungan istilah dari tiga agama besar (Hindu, Islam, dan Kristen) mengingatkan kita bahwa kebajikan sejati adalah nilai universal.

Semua tradisi sepakat bahwa kesabaran dan kerendahan hati adalah inti dari kepemimpinan yang autentik.

Ada baiknya kita renungkan kutipan berikut ini:

“Jika kau masih ragu dengan misi besar perubahan, lebih baik engkau mencari jalan lain.” (Surya Paloh)

“Balaslah kejahatan dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang setia.” (QS. Fushshilat: 34)

“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Matius 5:9)

Negarawan Khasmawan di Panggung Nusantara

Menyebut Surya Paloh sebagai seorang Khasmawan adalah upaya menghadirkan kembali bahasa kebajikan dalam politik. Ia menunjukkan bahwa seorang politikus tidak harus keras, pendendam, atau haus kekuasaan.

Sebaliknya, ia bisa menjadi negarawan yang sabar, rendah hati, dan berjiwa besar. Dalam perspektif Hindu, ia adalah Khasmawan. Dalam Islam, ia seorang Halim. Dalam Kristen, ia memiliki humble spirit.

Di tengah dunia politik yang penuh kegaduhan, kehadiran sosok seperti ini menjadi pengingat penting bahwa kekuatan sejati bukan pada kemampuan menakhlukkan lawan, melainkan pada kemampuan menakhlukkan diri sendiri.

Inilah warisan moral yang ingin ditunjukkan Surya Paloh kepada bangsa ini bahwa politik sejatinya adalah jalan kebajikan, bukan sekadar jalan menuju kekuasaan.

(WH/GN)

Add Comment