Tingkatkan Kepedulian Perusahaan Migas terhadap Masyarakat Papua Barat

JAKARTA (12 November): Anggota Komisi XII DPR RI, Syarif Fasha, menyoroti rendahnya kepedulian perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di wilayah Papua Barat terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar wilayah operasi.

Menurut Fasha, potensi gas bumi di Papua Barat sangat besar, namun manfaatnya belum sepenuhnya dirasakan masyarakat lokal.

“Di Blok Tangguh dan Blok Masela, potensi gasnya luar biasa. Ada empat perusahaan besar yang beroperasi di sana, yaitu BP Tangguh, Genting Kaswari, Pertamina EP, dan Petrogas. Setiap hari mereka mengekstraksi hingga 4.000 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day), jumlah yang sangat besar,” ungkap Fasha dalam Rapat Kerja Komisi XII DPR dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/12/2025).

Legislator Partai NasDem itu juga menyayangkan sebagian besar produksi perusahaan migas tersebut masih diekspor ke luar negeri.

“Hanya Pertamina EP dan Petrogas yang gasnya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara BP Tangguh dan Genting seluruhnya diekspor. Padahal, jika dimanfaatkan untuk kebutuhan lokal, masyarakat Papua tidak akan kekurangan pasokan gas,” ujarnya.

Lebih lanjut, Fasha mengungkapkan bahwa belum ada satu pun dari keempat perusahaan tersebut yang menyalurkan Participating Interest (PI) sebesar 10 persen kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

“Ironis sekali, belum ada satu pun perusahaan yang memberikan PI 10 persen, padahal itu adalah hak daerah,” tegas Fasha.

“Sementara Pemkab Teluk Bintuni setiap tahun mengeluarkan dana sekitar Rp50 miliar untuk membiayai operasional genset listrik, dan Rp92 miliar lagi untuk pelatihan vokasi anak-anak Papua. Tapi sayangnya, hanya sedikit dari mereka yang diakomodir oleh perusahaan migas tersebut,” imbuhnya.

Fasha menilai kondisi ini mencerminkan minimnya keberpihakan perusahaan terhadap masyarakat Papua. Ia meminta pemerintah, khususnya Kementerian ESDM dan SKK Migas, segera menindaklanjuti agar hak daerah dapat direalisasikan.

“Kalau 10 persen PI itu diberikan kepada BUMD Papua, nilainya sekitar 400 MMSCFD. Dengan potensi sebesar itu, jalan-jalan di sana bisa diaspal dengan emas. Artinya, kesejahteraan masyarakat bisa meningkat signifikan,” ujar Fasha dengan tegas.

Ia menyoroti pula pernyataan pihak SKK Migas yang menyebutkan bahwa penyaluran PI baru akan dilakukan sepuluh tahun lagi. Menurut Fasha, hal itu bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.

“Undang-undang dan peraturan menteri sudah jelas menyebutkan bahwa PI diberikan setelah Plan of Development (POD) pertama disetujui. Jadi alasan penundaan sepuluh tahun itu tidak masuk akal,” kritiknya.

Dalam kesempatan tersebut, Fasha menegaskan bahwa perhatian terhadap Papua tidak boleh hanya terfokus pada isu pertambangan Freeport. “Isu Papua jangan lagi soal Freeport. Di Papua Barat ada potensi besar dari gas bumi yang bisa menjadi sumber kesejahteraan masyarakat setempat,” ucapnya.

Ia juga menekankan bahwa kepeduliannya terhadap Papua dilandasi rasa keadilan dan tanggung jawab nasional. “Saya bukan orang Papua, saya orang Jambi. Tapi saya peduli terhadap masyarakat Papua. Mereka harus mendapatkan manfaat dari kekayaan alamnya sendiri,” kata Fasha.

Sebagai tindak lanjut, Fasha menyampaikan bahwa Komisi VII DPR RI akan memanggil SKK Migas, pemerintah daerah, dan para kepala daerah terkait dalam rapat dengar pendapat (RDP) berikutnya untuk membahas persoalan tersebut secara mendalam.

“Kami ingin persoalan ini dituntaskan secara terbuka dan adil. Jangan sampai masyarakat Papua terus menjadi penonton di tanahnya sendiri,” tutup Fasha. (Yudis/*)

Add Comment