Pemerintah Diminta Prioritaskan Pembangunan Daerah Tertinggal di Papua

JAKARTA (12 November): Wakil Ketua Komisi V DPR RI, Roberth Rouw, mendesak pemerintah untuk memberikan porsi prioritas yang lebih besar dalam program pembangunan desa dan daerah tertinggal bagi wilayah Papua.

Ia menilai, selama ini Papua yang memiliki tingkat ketertinggalan paling tinggi di Indonesia belum mendapat perhatian sepadan dari kementerian terkait, khususnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

“Dari 30 daerah tertinggal di Indonesia, 26 ada di Papua. Artinya, Papua adalah wajah nyata dari daerah tertinggal yang seharusnya mendapat perhatian utama pemerintah,” tegas Roberth dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI dengan Menteri Desa PDTT Yandri Susanto, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025).

Roberth menekankan bahwa program-program kementerian harus mencerminkan semangat pembangunan dari pinggiran sebagaimana menjadi visi pemerintah.

“Kalau bicara jujur, kementerian ini seharusnya menjadi kementerian untuk Papua dan NTT. Maka program dan anggarannya harus lebih dari separuh diarahkan ke wilayah kami,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa bukan hanya desa, bahkan banyak kabupaten di Papua masih berstatus daerah tertinggal.

“Kalau kabupatennya saja tertinggal, bagaimana dengan desanya? Karena itu, perencanaan dan program Kemendes PDTT ke depan harus menggambarkan keberpihakan nyata bagi Papua,” kata Roberth.

Legislator NasDem yang mewakili Dapil Papua Pegunungan itu juga menyoroti keterbatasan infrastruktur dasar sebagai kendala utama percepatan pembangunan desa.

“Syarat utama pembangunan desa adalah ketersediaan infrastruktur dasar, jalan desa, jembatan, dan sanitasi. Tapi saya lihat, dalam perencanaan tahun ini, pembangunan jalan desa hanya 5 kilometer dengan anggaran Rp6 miliar. Di daerah saya, angka itu tidak cukup karena tingkat kemahalan sangat tinggi,” jelasnya.

Roberth meminta agar pemerintah menyesuaikan kebijakan anggaran dengan kondisi geografis Papua yang berat dan biaya logistik yang tinggi.

“Mohon ini jadi perhatian untuk perencanaan 2026, agar Papua, terutama wilayah pegunungan, mendapat alokasi anggaran yang proporsional dan realistis,” tegasnya.

Selain infrastruktur, Roberth juga menyoroti kebutuhan listrik dan jaringan komunikasi yang masih minim di desa-desa Papua. Ia berharap pemerintah dapat mempercepat realisasi program elektrifikasi dan Digital Transformation for Society (DTS) di wilayahnya.

“Banyak desa di Papua belum teraliri listrik dan belum ada sinyal. Saya berharap Kemendes bisa bantu, terutama untuk desa-desa yang kemarin saya kunjungi,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Roberth juga menyampaikan dukungan terhadap gagasan transmigrasi lokal di Papua sebagai solusi pengembangan sumber daya manusia dan pemerataan ekonomi. Namun ia menegaskan perlunya pendekatan yang lebih sensitif terhadap konteks sosial masyarakat setempat.

“Istilah transmigrasi sering kurang diterima di Papua, jadi mungkin kita sebut saja pemukiman masyarakat Papua. Prinsipnya, kami ingin membangun kemandirian melalui petani-petani muda lokal,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menanggapi rencana Kemendes PDTT yang menargetkan setiap desa memiliki power plant dengan syarat penyediaan lahan seluas 1.000 meter persegi.

“Kami siap siapkan lahannya. Kami ingin di daerah kami, di tanah Papua, semua desa bisa punya listrik sendiri,” tandas Roberth.

Dengan semangat itu, Roberth berharap kementerian benar-benar menerapkan prinsip pemerataan pembangunan sesuai amanat konstitusi. “Kalau pemerintah ingin membangun dari pinggiran, maka Papua harus menjadi prioritas utama,” pungkasnya. (Yudis/*)

Add Comment