Revisi UU Hak Cipta tidak Boleh Timbulkan Persoalan Baru

JAKARTA (19 November): Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Martin Manurung, menegaskan bahwa revisi UU Hak Cipta harus menghasilkan regulasi yang adil dan tidak menambah beban pelaku industri kreatif.

Ia menilai keseimbangan kepentingan antara pencipta, penyanyi, promotor, label, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya menjadi kunci agar pengaturan hak cipta tidak menimbulkan persoalan baru.

Maka dari itu, Martin menilai dalam revisi UU Hak Cipta diperlukan kebijaksanaan agar tidak ada ‘ego sektoral’ antar-stakeholder. Ia meminta masukan yang komprehensif dari para pelaku industri, karena regulasi yang tepat harus mampu mengelola kepentingan seluruh pihak.

“Untuk menyeimbangkan semua kepentingan ini. Kita tentu tidak ingin juga kemudian pencipta tidak mendapatkan hak-haknya. Ini juga penyanyi juga, promotor juga, label juga,” ujar Martin dalam RDPU Baleg DPR dengan berbagai narasumber, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Hadir sebagai narasumber, para penulis buku, penerbit, asosiasi produser film, Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Langgam Kreasi Budaya.

Martin membuka pandangannya dengan menyoroti bahwa sengketa hak cipta biasanya muncul ketika suatu karya sudah menghasilkan nilai ekonomi. Menurutnya, baik penyanyi, pencipta lagu, label, maupun promotor sering baru mempermasalahkan hak ketika karya tersebut mulai menguntungkan, padahal seluruh pihak sebelumnya menanggung proses perjuangan yang sama.

Ia juga berbagi pengalamannya sebagai mantan penyanyi sejak usia tujuh tahun dan pernah mengalami langsung ketidakadilan pembagian keuntungan di industri musik.

“Saya jamin Pak Once ini dulu ketika menyanyi sering free juga. Demikian juga pencipta lagu. Dan tidak salah juga label itu berjuang, karena mereka yang menaruh modal dan risiko,” tuturnya.

Martin juga menyoroti perlunya digitalisasi sistem tracking penggunaan karya cipta agar lebih transparan dan mudah diatur. Ia memberi contoh bagaimana di luar negeri setiap lagu yang diputar di restoran, karaoke, atau tempat hiburan dapat tercatat secara otomatis oleh sistem.

“Kalau memang itu yang harus kita lakukan, kita dorong saja digitalisasi. Jadi jelas, jangan saling mengklaim. Dan jangan mempersulit juga,” ujarnya.

Terkait isu kewajiban izin langsung kepada pencipta untuk setiap lagu yang dinyanyikan dalam sebuah acara, Martin mengingatkan bahwa regulasi yang terlalu kaku justru akan menyulitkan pelaksanaan di lapangan.

“Bayangkan kalau setiap lagu harus izin dulu, ya repot juga. Intinya jangan membuat peraturan yang mempersulit diri sendiri,” tegasnya.

Martin menutup pernyataannya dengan harapan agar industri kreatif tidak terhambat karena over-regulation. Menurutnya, semangat revisi UU Hak Cipta harus memastikan perlindungan bagi pencipta tanpa mematikan kreativitas dan kegiatan usaha promotor, penyanyi, maupun label.

“Kita tidak ingin industri kreatif akhirnya tidak berkembang, mati karena over regulation. Tolong kami dikasih masukan yang terbaik seperti apa,” pungkasnya. (dpr.go.id/*)

Add Comment