Penyelesaian Masalah PPPK Lebih Mudah melalui Satu Meja Koordinasi

JAKARTA (28 November): Anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Muhammad Habibur Rochman, menekankan perlunya percepatan penyelesaian persoalan tenaga honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) melalui mekanisme yang lebih kuat dan terfokus di Komisi II DPR.

Ia menilai, penanganan aspirasi terkait pengangkatan dan peningkatan status PPPK akan lebih mudah dituntaskan jika melibatkan kementerian dan lembaga teknis secara langsung dalam satu meja koordinasi.

“Saya rasa permasalahannya akan lebih mudah diatasi ketika dibahas di Komisi II. Pak Ketua (BAM DPR RI) kebetulan (Anggota) di Komisi II, Insyaallah lebih diprioritaskan kalau itu menjadi atensi dari anggota (Komisi II) karena melihat keterbatasan kewenangan kita di BAM juga,” ujar Habib dalam RDPU dengan Aliansi Merah Putih, ADAPI, serta perwakilan masyarakat dari Kabupaten Malaka, NTT untuk membahas polemik pengangkatan PPPK menjadi PNS di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Habib mengatakan, keterlibatan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hingga perwakilan Pemerintah Daerah (Pemda), menjadi hal yang sangat krusial untuk memudahkan penyelesaian masalah tersebut.

Selain berkaitan dengan hal itu, Habib menegaskan bahwa PPPK yang sudah ada saat ini merupakan bentuk apresiasi negara kepada masyarakat yang telah mengabdi, serta menjadi solusi transisi agar Indonesia tidak kembali ke pola kepegawaian honorer yang tidak terstruktur.

Ia menyebut, pemerintah dan DPR perlu menyelesaikan tahapan penyerapan honorer menjadi PPPK terlebih dahulu sebelum membuka ruang besar untuk peningkatan status menjadi PNS.

“Persoalan ini jika tidak ditangani secara serius maka kita akan kembali lagi ke zaman honorer. Nah, untuk sementara ini dengan segala tantangan dan keterbatasan anggaran, kita mencoba untuk memberikan apresiasi lewat yang namanya P3K (terlebih dahulu), baik yang penuh maupun paruh waktu, sambil melihat kondisi kemampuan fiskal,” tegas Habib.

Ia menambahkan, apabila pengangkatan honorer menjadi P3K sudah selesai, barulah diprioritaskan untuk naik status menjadi PNS.

Lebih jauh, legislator NasDem itu memaparkan landasan kebijakan penghapusan honorer dan transisi menuju PPPK. Pemerintah, jelasnya, melakukan pembatasan honorer karena kondisi anggaran daerah yang terserap besar untuk belanja pegawai, bahkan mencapai di atas 70 persen di beberapa wilayah. PPPK dinilai sebagai solusi pengendalian beban fiskal sekaligus sarana seleksi berbasis kualifikasi.

“Kalau belanja pegawai terlalu besar, daerah membangun apa? Nah inilah yang kemudian menjadi koreksi pemerintah pusat supaya memberhentikan honorer, tetapi kemudian diangkat sebagian yang memang qualified untuk menjadi PPPK,” paparnya.

Dalam forum tersebut, Habib turut menyoroti kasus yang terjadi di Kabupaten Malaka. Mereka mengadukan pembatalan pengangkatan sepuluh tenaga honorer lulus seleksi.

Ia menilai isu seperti ini harus dibahas dalam forum resmi bersama Kemendagri, karena kepala daerah berada dalam koordinasi langsung kementerian tersebut. Rapat gabungan di Komisi II dinilai menjadi ruang paling strategis untuk menyelesaikan sengketa dan memastikan keadilan bagi tenaga yang telah lulus seleksi.

Dengan dorongan pembahasan lintas kementerian tersebut, Habib berharap proses penyelesaian honorer ke PPPK dan selanjutnya ke PNS tidak lagi terhambat dan menjadi sistem kepegawaian negara yang lebih rapi, adil, dan terukur. (dpr.go.id/*)

Add Comment