Lisda Kawal Bantuan untuk Korban Bencana Sumatra Barat

PADANG (2 Desember): Anggota Komisi VIII DPR RI, Lisda Hendrajoni, terus bergerak ke wilayah terdampak banjir dan tanah longsor di Sumatera Barat. Ia ingin memastikan seluruh bantuan dari pusat benar-benar sampai kepada masyarakat.

“Sulit sekali menjangkau banyak wilayah. Tapi bagaimana pun, kita harus datang,” ujar Lisda, Selasa (2/12/2025).

Dalam beberapa hari terakhir, Lisda kerap menyusuri jalan-jalan yang terputus. Lumpur tebal dan material longsor membuat kendaraan tak bisa melaju. Di beberapa titik, ia harus turun, melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki bersama tim hanya untuk memastikan kondisi warga yang terisolasi.

Bagi Lisda, bencana bukan sekadar data kerusakan atau angka pengungsi. Ia melihat langsung orang tua yang gelisah menunggu bantuan, anak-anak yang kehilangan rutinitas, serta keluarga yang tak tahu apa yang akan mereka makan esok hari.

Dari sana ia memahami bahwa memastikan bantuan tiba bukan sekadar tugas kedinasan, melainkan panggilan nurani. Karena itu, ia terus menekankan satu pesan: jangan biarkan bantuan menumpuk. “Kalau sudah tiba, langsung salurkan,” tegasnya.

Ia tahu, mungkin sekantong beras atau selembar selimut terlihat sederhana. Namun bagi warga yang terisolasi, bantuan itu bisa menjadi penyelamat hari itu juga.

Sebagai mitra langsung BNPB RI dan Kementerian Sosial, Lisda bergerak cepat dan membangun koordinasi sejak hari pertama bencana di Sumbar.

Setiap perkembangan di lapangan ia laporkan kepada pihak pusat. Ia mendesak percepatan distribusi logistik dan penambahan dukungan untuk daerah-daerah yang kondisi aksesnya paling kritis. Beberapa paket BNPB telah ia distribusikan di Padang dan Pesisir Selatan, meski perjalanan sering kali penuh risiko.

Namun bencana besar tak pernah memberikan jalan mulus bagi siapa pun yang ingin menolong. Ketika akses menuju wilayah terdampak semakin sulit ditembus, Lisda tak ingin bantuan tertahan hanya karena hambatan teknis.

Ia langsung menghubungi DPD Partai NasDem di setiap kabupaten/kota di Sumbar, meminta mereka menyalurkan bantuan pribadinya secara langsung agar warga tetap mendapat dukungan tanpa menunggu.

“Saya tidak ingin warga menunggu terlalu lama. Kalau saya belum bisa masuk, tim harus bisa,” katanya.

Baginya, kehadiran bantuan tidak boleh menunggu cuaca membaik atau jalan diperbaiki.

Di berbagai titik bencana, warga menyambut bantuan itu dengan kelegaan yang sulit disembunyikan. Ada ibu-ibu yang menggenggam paket bantuan erat seolah itu adalah satu-satunya kepastian di tengah ketidakpastian. Relawan menceritakan bagaimana anak-anak kembali tersenyum saat menerima makanan siap saji dan susu yang mereka bawa.

Cerita-cerita kecil itu kembali menghampiri Lisda setiap kali tim melapor. Semua itu menjadi pengingat bahwa pekerjaannya belum selesai.

“Ini lebih dari sekadar tugas. Ini tentang memastikan masyarakat kita tidak merasa sendirian,” ucapnya.

Di saat banyak wilayah masih terisolasi dan jembatan-jembatan terputus, komitmen Lisda untuk mengawal arus bantuan menjadi harapan tersendiri.

Ia tahu, bantuan pusat tak akan berarti jika hanya berakhir di gudang. Bantuan baru benar-benar bermakna jika berada di tangan warga yang membutuhkannya.

Di tengah cuaca ekstrem dan medan yang sulit ditebak, komitmen itu menjadi energi bagi banyak relawan dan perangkat daerah. Mereka melihat bahwa upaya ini bukan hanya tentang logistik, tetapi tentang kehadiran—tentang memastikan masyarakat tahu bahwa negara bersama mereka.

Dan pada akhirnya, di antara jalan yang runtuh dan desa yang terisolasi, gerak cepat Lisda bersama ratusan orang yang ikut membantu membentuk satu jembatan baru: jembatan kepedulian. Jembatan yang menghubungkan harapan warga dengan tangan-tangan yang datang membawa bantuan.

Dalam situasi di mana banyak hal terputus, Lisda ingin memastikan satu hal tetap tersambung: alur bantuan dari pusat hingga sampai ke tangan masyarakat yang paling membutuhkan. (Bee/*)

Add Comment