Keterbatasan SDM dan Pengawasan Jadi Akar Temuan BPK di Papua

JAKARTA (3 Desember): Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Arjuna Sakir, menyebut pengawasan yang terbatas dan kemampuan teknis sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai menjadi akar persoalan berbagai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Tanah Papua.

Arjuna menegaskan bahwa proses penilaian opini laporan keuangan di Papua tidak dapat dilepaskan dari kendala struktural yang masih membayangi daerah tersebut.

“Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), syarat pertama adalah sesuai dengan standar. Kepatuhan pada peraturan perundangan. Kemudian, masalah-masalah terkait dengan kendalanya tadi juga menjadi dasar dalam pembangunan opini,” kata Arjuna saat meninjau paparan hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK di Sorong, Papua Barat Daya, Senin (1/12/2025).

Menurutnya, beberapa temuan seperti kekurangan volume pekerjaan tidak selalu dipicu oleh kesengajaan, melainkan karena kondisi Papua yang luas dan sulit diawasi secara optimal.

“Pengawasan dari dinas terkait, terutama PU, itu terbatas. Sehingga BPK juga melakukan pemeriksaan itu, stressing pada permasalahan atau daerah-daerah yang kemungkinannya terjadi masalah,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa pemeriksaan BPK tidak dapat dilakukan secara menyeluruh. “Pemilihannya itu adalah sampel juga, tidak mungkin seluruhnya diperiksa,” ujar Arjuna.

Meski demikian, Arjuna mengakui bahwa secara makro tata kelola keuangan daerah Papua telah menunjukkan perkembangan positif. Namun, ia menilai masalah mendasar masih berakar pada minimnya sumber daya manusia.

“Sumber daya manusia disini sangat terbatas, sehingga pemahaman terkait dengan aturan-aturan itu masih terbatas. Belum lagi kebanyakan tenaga honorer,” ungkapnya. Kondisi geografis dan keamanan turut memperberat pelaksanaan regulasi di lapangan.

Ia kemudian menjelaskan bahwa kondisi tersebut berpengaruh pada hasil opini BPK, terutama bagi daerah yang memperoleh Wajar Dengan Pengecualian (WDP).

“Opini Wajar dengan pengecualian secara umum, wajar. Tapi ada akun-akun tertentu yang dikecualikan. Karena temuannya material,” kata dia.

Arjuna menekankan bahwa akun kas menjadi indikator paling sensitif. “Kalau KAS itu berapa pun nilainya, akan berdampak, itu tetap akan berdampak,” tegasnya.

Lebih jauh, Arjuna menyampaikan bahwa penyelesaian berbagai permasalahan ini tidak hanya dapat dibebankan kepada pemerintah daerah. Ia menilai perlunya koordinasi lintas kementerian dan lembaga (K/L) untuk menciptakan perbaikan menyeluruh.

“BPK punya tugas memeriksa permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara lokal tentu harus diangkat ke permasalahan dari tingkat sektoral,” ujarnya.

Ia juga menilai perlunya kebijakan yang memberikan konsekuensi jelas terhadap penurunan maupun kenaikan opini.

“Opini itu ketika turun opini, kan tidak jadi masalah. Harusnya kan ada punishment. Ketika naik kan ada rewardnya. Ada rewardnya tambahan dulu namanya dana insentif daerah. Ketika turun, enggak jadi masalah. Harusnya Mendagri atau Menteri Keuangan juga memberi warning,” tandasnya.

Melalui kesempatan ini, Arjuna memastikan BAKN DPR akan memperkuat peran pengawasan dan mendorong harmonisasi perbaikan di tingkat pusat dan daerah. Tujuannya, agar tata kelola keuangan di Papua dapat setara dengan daerah lain dan tidak lagi terbebani temuan berulang dari tahun ke tahun. (dpr.go.id/*)

Add Comment