BRIN Punya Potensi Besar tapi Publikasi masih Lemah
CIBINONG (4 Desember): Anggota Komisi X DPR RI, Furtasan Ali Yusuf, mengakui selama ini citra Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kurang terekspos secara optimal, sehingga menimbulkan kesan seolah lembaga tersebut tidak memiliki capaian signifikan.
“Sudah menjadi kewajiban Komisi X DPR untuk memberikan dukungan penuh terhadap operasional dan keberlanjutan lembaga riset tersebut, agar mampu terus berkembang menghasilkan inovasi bernilai bagi masyarakat luas,” ujar Furtasan dalan Kunjungan Kerja Komisi X DPR di Kawasan BRIN Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (3/12/2025).
Kunjungan di BRIN Cibinong menjadi momentum penting untuk membuka kembali diskursus publik soal peran strategis lembaga riset nasional.
Furtasan melihat langsung fasilitas riset di lapangan. Ia mengaku terkejut menyaksikan kualitas sarana prasarana BRIN, termasuk keberadaan alat penelitian bernilai hingga Rp35 miliar, yang menunjukkan besarnya investasi negara di sektor sains dan teknologi.
Menurut Furtasan, temuan tersebut menegaskan bahwa BRIN memiliki posisi vital sebagai tulang punggung pembangunan berbasis ilmu pengetahuan di Indonesia. Produk riset unggulan hanya bisa lahir melalui fondasi riset dasar yang kuat, dan proses itu seluruhnya berada di BRIN.
Meski mengapresiasi mutu hasil riset yang dinilai sudah cukup bagus dan ternama, Furtasan juga menyampaikan kritik konstruktif terkait lemahnya publikasi dan sosialisasi kepada masyarakat. Banyak hasil penelitian yang sebenarnya potensial dan bermanfaat belum diketahui secara luas.
Kondisi tersebut memunculkan persepsi keliru seolah riset negara tidak digunakan atau terbuang sia-sia.
“Padahal permasalahan utama bukan pada kualitas riset, melainkan pada kurang optimalnya strategi komunikasi dan diseminasi agar hasil temuan benar-benar sampai kepada publik dan dapat dimanfaatkan secara maksimal,” tandas Furtasan.
Terkait isu tumpang tindih riset nasional, Furtasan menjelaskan pembagian peran antara Dikti Scientech dan BRIN kini tengah dibenahi. Dikti Scientech difokuskan pada riset terapan dan pengembangan pendidikan tinggi, sementara BRIN diarahkan sebagai pusat riset dasar nasional yang mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan.
Dengan pola tersebut, ekosistem riset diharapkan lebih terintegrasi dari hulu hingga hilir, sehingga inovasi yang dihasilkan tidak berhenti di laboratorium, melainkan dapat bertransformasi menjadi produk atau solusi nyata bagi kebutuhan masyarakat.
Furtasan juga menyoroti persoalan keterbatasan anggaran riset nasional yang masih berada di kisaran 4,8 persen. Angka itu dinilai belum ideal untuk mendukung ambisi besar pengembangan sains Indonesia.
Selain dukungan pendanaan, Legislator Partai NasDem itu menekankan pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk aspek kesejahteraan dan kesehatan para peneliti.
Saat ini BRIN menampung sekitar 4.000 peneliti, hasil penggabungan berbagai lembaga riset sebelumnya. Dari sisi kelembagaan, postur organisasi dinilai sudah cukup solid, namun kini saatnya BRIN memasuki fase ekspansi peluang untuk mengoptimalkan kapasitas riset yang ada.
Menyinggung persoalan regulasi pemanfaatan hasil riset, Furtasan menyebut secara normatif aturan sudah tersedia. Tantangannya terletak pada implementasi teknis yang masih kerap berjalan kaku.
Penyederhanaan mekanisme diperlukan agar hasil riset dapat dimanfaatkan lebih cepat, baik di dalam negeri maupun sebagai produk kerja sama internasional.
Ia menegaskan bahwa dukungan seluruh pihak, termasuk DPR, pemerintah, dunia industri, dan masyarakat, mutlak dibutuhkan agar proses hilirisasi inovasi BRIN berjalan efektif.
Setelah lima tahun terakhir fokus pada pembenahan internal kelembagaan, Furtasan menilai sekarang adalah momentum tepat bagi BRIN untuk bergerak agresif menyusun program unggulan, target riset, serta keunggulan kompetitif di masa depan.
“Semua strategi itu harus berangkat dari kekuatan BRIN sendiri sebagai pusat ilmu pengetahuan nasional,” jelasnya.
Sebagai contoh konkret potensi riset BRIN, Furtasan menyinggung kajian tentang produk penumbuh rambut. Jika penelitian tersebut berhasil dikembangkan menjadi produk siap pakai, ia yakin dampaknya bisa sangat besar dan ‘bombastis’mengingat kebutuhan pasar yang luas.
Contoh sederhana itu menunjukkan bagaimana riset dasar dapat melahirkan produk bernilai ekonomi dan langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sekaligus menjadi bukti bahwa investasi negara di bidang riset bukanlah pemborosan, melainkan langkah strategis menuju kemandirian inovasi nasional. (dpr.go.id/*)