Furtasan Sebut Tiga Poin Utama Pemulihan Pendidikan Pascabencana
JAKARTA (11 Desember): Tiga poin utama yang harus segera menjadi perhatian pemerintah agar masa depan pendidikan mahasiswa tidak terhenti akibat bencana. Bukan sekadar respons darurat, melainkan pentingnya pemulihan pendidikan pascabencana yang harus dilakukan secara tuntas dan terstruktur.
Hal tersebut disampaikan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Furtasan Ali Yusuf, dalam Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025).
“Saya tidak bicara soal apa sebab terjadinya musibah ini, tapi bagaimana cara kita menangani persoalan ini sampai tuntas, ada tiga hal yang ingin saya sampaikan,” ujar Furtasan.
Poin pertama adalah revitalisasi sarana dan prasarana pendidikan di wilayah terdampak bencana. Ia menilai pemerintah perlu mengambil peran aktif dalam mempercepat pemulihan bangunan-bangunan pendidikan yang rusak agar kegiatan akademik dapat segera kembali berjalan normal.
“Penyelesaian persoalan fisik kampus menjadi prasyarat penting bagi keberlanjutan proses belajar-mengajar,” ungkap legislator NasDem dari Dapil Banten II.
Poin kedua berkaitan dengan kewajiban mahasiswa, khususnya di perguruan tinggi swasta (PTS). Furtasan menjelaskan bahwa pada perguruan tinggi negeri, kebijakan keringanan umumnya dapat ditempuh melalui rektor. Namun, kondisi berbeda di PTS yang sangat bergantung pada pembayaran SPP mahasiswa sebagai sumber utama operasional. Ia menilai PTS menjadi kelompok yang paling rentan ketika mahasiswa terdampak bencana mengalami kesulitan ekonomi.
“Saya meminta pemerintah hadir untuk mengatasi persoalan tersebut agar operasional PTS tidak terganggu dan harapan mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan tidak terputus,” tegasnya.
Poin ketiga adalah kebutuhan akan payung hukum yang jelas dalam pengambilan kebijakan pemulihan pendidikan. Ia menilai setiap kali terjadi krisis, respons kebijakan kerap bersifat gagap dan sporadis, tanpa dasar aturan yang kuat.
“Berkaca pada pengalaman penanganan pandemi covid-19 pada 2020, banyak kebijakan akhirnya memunculkan persoalan hukum karena tidak dilandasi regulasi yang memadai,” papar Furtasan.
Menurutnya, meskipun para rektor telah mengambil kebijakan-kebijakan untuk membantu mahasiswa terdampak, kebijakan tersebut masih bersifat sementara dan rentan secara hukum.
“Oleh karena itu, saya mendorong Kemendiktisaintek untuk menerbitkan payung hukum berupa surat edaran atau keputusan menteri yang dapat melindungi pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil kebijakan strategis, termasuk terkait UKT dan dispensasi akademik,” tandasnya.
Ia menilai bahwa kebijakan pemulihan pendidikan harus memiliki kepastian dan legitimasi agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Furtasan pun mengingatkan agar kebijakan tersebut tidak hanya didasarkan pada rasa empati sesaat, melainkan dirancang untuk jangka panjang dan berlandaskan aturan yang jelas.
Menutup pernyataannya, Furtasan menegaskan pentingnya kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR agar tidak ada satu pun mahasiswa dari Aceh, Sumatra Utara, maupun Sumatra Barat yang terpaksa menghentikan pendidikannya akibat bencana.
“Pendidikan tinggi merupakan fondasi masa depan ekonomi keluarga sekaligus modal utama bagi generasi muda untuk membangun kembali daerah asalnya,” pungkasnya. (dpr.go.id/*)