Menjaga Rohani Manusia di Era Kecerdasan Buatan

Oleh: Dr. Mohsen Hasan Alhinduan

(Anggota Dewan Pakar DPP Partai NasDem)

 

SEBUAH Renungan Sufistik tentang Artificial Intelligence AI, Akhlak, dan Masa Depan Kemanusiaan

Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang lahir dari imajinasi John McCarthy, kini berkembang melebihi batas yang pernah dibayangkan generasinya. Mesin mampu belajar, menganalisis, menulis, bahkan memberi ‘jawaban’ seakan-akan ia memahami isi jiwa manusia.

Namun, teknologi, sejenius apa pun, tetap berdiri sebagai ciptaan manusia, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah, Sang Maha Pencipta yang meniupkan roh ke dalam diri hamba-Nya. Di sinilah letak perbedaan ontologis yang tidak bisa disejajarkan oleh algoritma apa pun.

Dalam seminar yang menghadirkan Prof. Quraish Shihab dan Dr. TGB M. Zainul Majdi, kesimpulan itu kembali ditegaskan: AI bekerja tanpa roh, sedangkan manusia bekerja dengan roh yang dipandu oleh Ilahi.

Spiritualitas: Cahaya yang Tidak Bisa Diprogram

Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam gagasannya tentang adab menegaskan bahwa krisis terbesar manusia modern bukanlah kekurangan informasi, tetapi kekacauan dalam menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Baginya, teknologi menjadi masalah bukan karena kecerdasannya, tetapi karena manusia kehilangan kemampuan menyikapi kecerdasan itu dengan adab.

Al-Attas menulis:

“Kesadaran diri adalah pusat dari kemanusiaan. Tanpa kesadaran akan Tuhan, manusia kembali menjadi benda.”

AI tidak memiliki kesadaran.
AI tidak mengenal Tuhan.
AI tidak memiliki kecemasan eksistensial atau pergulatan moral.

Maka ketika manusia menyerahkan seluruh pertimbangannya kepada mesin, ia sedang mengurangi martabatnya sendiri.

Cinta, Empati, dan Jiwa: Dunia yang Hanya Dimiliki Manusia

Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang sufi besar dari Tarim, selalu menekankan bahwa kekuatan manusia bukan pada akalnya, tetapi pada jiwa yang hidup.

Beliau menulis dalam An-Nashaih ad-Diniyyah:

“Hidupkan hatimu dengan dzikir, karena hati yang mati tidak mengenali cahaya.”

AI mampu menganalisis ratusan kitab tasawuf, tetapi ia tidak dapat ‘merasakan’ cahaya itu.

AI dapat menyusun doa, tetapi tidak dapat merasakan nikmat sujud.

AI dapat berbicara tentang cinta, tetapi tidak mampu mencintai.

Empati, simpati, air mata, pengampunan, dan pengorbanan, semua itu bukan produk data, tetapi pengalaman jiwa.

Kreativitas dan Kehendak Ilahi: Panggung Iqbal

Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf besar dunia Islam, menggambarkan manusia sebagai mahluk yang mampu mencipta masa depannya sendiri.

Iqbal berkata:

“Tuhan memberikan manusia kehendak, agar ia menjadi mitra dalam penciptaan sejarah.”

AI tidak memiliki kehendak.
AI tidak memiliki keberanian eksistensial.
AI tidak memiliki tanggung jawab moral.

Ia hanya mengikuti perintah, algoritma, dan pola.
Ia bukan subjek moral dan tidak akan pernah menjadi subjek moral.

Karena itu, ketika manusia kehilangan kehendaknya, ketika ia menyerahkan arah hidup sepenuhnya kepada mesin, ia sedang menghilangkan anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepadanya: kebebasan spiritual untuk memilih baik dan buruk.

Menjaga Akhlak di Tengah Dunia yang Serba Otomatis

Dunia yang semakin otomatis membutuhkan manusia yang semakin sadar.
Dunia yang semakin cepat membutuhkan manusia yang semakin dalam.
Dunia yang semakin cerdas membutuhkan manusia yang semakin bijak.

Inilah alasan mengapa para sufi dan pembaru modern senada:
manusia hanya menjadi manusia ketika ia menjaga akhlak, kesadaran, dan hubungan dengan Tuhannya.

World Economic Forum boleh berbicara tentang soft skills empati, kreativitas, komunikasi tetapi para arif billah sudah lebih dulu mengingatkan bahwa semuanya bersumber pada kesucian hati.

AI dapat menggantikan profesi, tetapi tidak dapat menggantikan akhlak.
AI dapat mempercepat pekerjaan, tetapi tidak dapat mempermudah perjalanan rohani. AI dapat membantu manusia berpikir, tetapi tidak dapat membantu manusia menemukan makna.

Kesimpulan: AI Cerdas, Manusia Bercahaya

Syed Naquib al-Attas mengingatkan bahwa krisis manusia modern adalah krisis kehilangan diri.
Al-Haddad menegaskan bahwa jiwa yang lalai adalah jiwa yang padam.
Iqbal mengajak manusia untuk mencipta masa depan dengan cahaya kehendak.

Dan kini, di era AI, pesan para tokoh itu semakin bergema.

Pertanyaannya bukan apakah AI akan menggantikan manusia.
Pertanyaannya adalah: apakah manusia masih menjaga cahaya di dalam dirinya?

Karena AI dapat menjadi alat yang sangat cerdas, tetapi hanya manusia dengan roh, akhlak, cinta, dan kesadarannya yang mampu menjadi makhluk yang bercahaya.

Wallahuàlam bissowaab….

 

(WH/AS)

Add Comment