Catatan Reses Akhir Tahun Akbar Faizal
Sulawesi Selatan – Saya ingin berbagi info seputar kegiatan reses saya di penghujung 2016 ini. Didampingi Kapolres Wajo, AKBP Novi Nurrohmat, saya memulai kunjungan ke Kelurahan Ballere, Kecamatan Keera di Kabupaten Wajo, desa asal saya. Di sini saya menghabiskan masa kecil saya. Melompat dari jembatan ke sungai yang beberapa kali buaya berukuran cukup besar menampakkan diri di sini. Selain itu, mengunjungi sekolahan saya waktu SD dan memeriksa penyelesaian salah satu gedung yang terbakar beberapa bulan lalu. Tak lupa saya menjenguk saudara yang sakit terkena stroke.
Desa yang kini menjadi kelurahan ini telah berubah dengan sangat cepat. Masyarakatnya menjadi sangat dinamis. Tak heran jika beberapa benturan sosial terjadi seperti yang terjadi di desa sebelahnya. Itulah alasan saya meminta Kapolri di masa Badrodin Haiti untuk membangun 1 SSK Brimob di sini. Sedih rasanya, bisa melayani masyarakat dari Aceh sampai Papua, tetapi menyaksikan rakyat sendiri yang saya kenal sejak kecil, saling berkelahi dan berbalas membakar rumah.
Syarat dari Kapolri saat itu, harus tersedia lahan dari Pemda. Menindakklanjuti hal itu, saya telah memintakan hal ini ke Bupati Wajo dan disetujui. Namun, untuk lahan di atas 5 Ha ternyata harus mendapat persetujuan gubernur. Ini pun sudah saya sampaikan kepada Bapak Gubernur Syahrul Yasin Limpo (SYL) langsung. Saya tidak tahu sampai di mana progresnya kini. Pernah Bang Murad (Kakor Brimob, Irjen Pol Murad Ismail) bertanya kepada saya soal ketersediaan lahan itu, suatu kali. Lapangan sepakbola di sini juga adalah memori yang tertancap kuat di benakku. Disuruh pergi mengaji tapi malah main bola di sini. Sayang, pohon tempat saya menggantungkan sarung dan peci, kini sudah tak ada lagi. Pernah sekali waktu ayah mendapatiku main bola di saat waktu mengaji. Saya tak punya alasan mengelak atau kabur sebab sarung dan peci sudah di tangan beliau. Hukuman ala anak tentara tak terelakkan. Tak perlu saya jelaskan apa jenis hukuman itu. Seru pokoknya!
Rancangan gambar dan rancangan anggaran biaya (RAB) sebuah stadion mini yang sederhana sudah saya dengarkan dan sepakati dengan warga di sini. Saya memang berencana merenovasi lapangan yang bersejarah bagiku ini. Kelak, lapangan ini akan menjadi pusat kegiatan pemuda dalam hal olahraga agar tak ada lagi perkelahian pemuda hingga harus mati sia-sia. Beberapa kawan pelatih nasional sudah menyatakan bersedia ke sana memberi coaching clinic tentang teknik bermain bola yang benar. Catatan kecil dari saya, rencana renovasi lapangan bola ini murni dari kantong saya, bukan bantuan dari negara. Saya merasa perlu melakukan ini atas nama masa lalu yang luar biasa.
Konflik tanah antara warga dengan pihak PTP XIV di perkebunan sawit juga menjadi pengaduan serius warga. Info awalnya, ijin HGU PTP XIV telah berakhir tahun 2013 lalu. Dari 12 ribu Ha lahan HGU itu hanya 2.000 Ha yang produktif dan digunakan oleh PTP. Selebihnya, tidak produktif, dan inilah yang dirambah warga karena merasakan ketidakadilan negara di sini. Sayangnya, Pemda setempat ‘belum berani’ mengambil sikap tegas, termasuk mengambil risiko melakukan redistribusi lahan itu kepada warga. Logika warga sederhana saja; jika mereka dilarang menggarap lahan itu maka seharusnya PTP juga dilarang. Toh, ijinnya sudah berakhir. Untuk mengetahui secara menyeluruh, saya akan mencari tahu soal ini.
Soal pembunuhan mantan bagian keuangan Kabupaten Wajo, Hasdawati, juga menjadi pertanyaan. Soal ini, saya jelaskan dengan detil di Radio Suara As’adiyah Sengkang, saat live. Kasus ini sendiri sudah ditangani Polda Sulsel dan segera akan selesai. Agak mengherankan memang sebab kasus ini sudah tujuh tahun berjalan. Oleh Dirkrimum Polda Kombes Pol Erwin Zadma, yang juga putra Sengkang, diterangkan bahwa kasus ini hampir rampung dan segera akan ada tersangka. Kasus ini menjadi istimewa karena posisi Hasdawati dan proses pembunuhannya yang sangat kejam. Matanya, maaf, dicungkil!
Di Lajokka, Desa Mannagae Kecamatan Tanasitolo, saya kaget bahwa ternyata praktik ala Dimas Kanjeng juga ada di sini. Namanya “Yayasan Dinar” yang berpusat di Sidrap dan Pinrang. Praktik ini ternyata sudah puluhan tahun namun belum ada warga di sini yang melaporkan ke polisi. Saya catat ini dengan garis bawah tebal dan tegas. Malam harinya, saya didatangi seorang bapak berusia kisaran 55 tahun, bernama Anwar di rumah ayah saya di Sengkang. Lelaki ini datang dengan wajah sendu. Dia adalah korban Dimas Kanjeng yang di Probolinggo. Uangnya ludes sekitar Rp 350 juta. “Saya tadi hadir di acara bapak di Lajokka tapi saya malu mengaku,” katanya. Dia datang dengan semua bukti-bukti seperti ATM, dapur, dan lain-lain.
Berikutnya, di Palakka, Kabupaten Bone, saya mendapat pengaduan bahwa terjadi kelangkaan pupuk. Tak hanya itu, beban berat juga dirasakan petani karena ada ancaman dari aparat ketika mereka mengadu kepada pemerintah setempat bahwa telah terjadi kelangkaan pupuk. Soal ini saya agak paham sebab saudara Amran Sulaiman, Menteri Pertanian, intens berkomunikasi dengan saya. Soal pupuk sebenarnya telah dijamin stoknya. Masalah memang ada di tingkat distribusi. Itulah alasan Mentan menggandeng Kapolri dan Panglima TNI untuk menjamin keamanan distribusi.
Selain soal pupuk, saat berdialog dengan warga di Warkop Aroma, Watampone, saya mendapat laporan bahwa di Bone sering terjadi tawar-menawar antara terdakwa dengan aparat penegak hukum dalam proses hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim. Ironis, besaran tarif itu sudah ada pada beberapa kasus. Seorang mantan narapidana yang merasa dikriminalisasi menjelaskan dengan detil bagaimana dirinya ‘digarap’ oleh jaksa pada kasus narkoba yang melilitnya.
Masalah pungli juga menjadi pertanyaan yang ramai. Kapolres Bone, AKBP Raspani, yang mendampingi saya menjelaskan dengan detil langkah-langkah menyapu bersih pungli, setidaknya di internal Polres Bone.
Keluhan kelangkaan pupuk dan benih juga saya terima dari warga Desa Tokaseng Kabupaten Bone.
Di Kecamatan Lilirilau Soppeng, saya jelaskan kepada camat dan para kepala desa tentang ranjau-ranjau hukum yang rawan mereka hadapi pada pengelolaan dana desa yang mulai terjadi di banyak tempat. Sebagai orang yang turut melahirkan UU Desa saat masih duduk di Komisi Pemerintahan (Komisi II) periode lalu, saya tahu betul risiko yang dihadapi para kepala desa dalam mengelola anggaran ini. Di Kabupaten Wajo, kepala desa Ugi dan Pattirolokka (desa yang sangat saya kenal sejak kecil) telah menghadapi risikonya. Kepada Kapolres Soppeng yang mendampingi saya saat itu, saya meminta agar arif bijaksana dalam menangani kasus seperti ini. Ada dua hal yang menjadi penyebab kepala desa celaka dalam mengelola dana miliaran ini: tidak tahu cara mengelolanya; dan, memang berniat mengangkangi dana untuk pembangunan desanya itu.
Terkait hal tersebut, saya sudah berkomunikasi dengan Mas Eko Putro (Menteri Desa dan PDTT) untuk merancang bimbingan teknis (Bimtek) agar para kades tidak lagi ragu-ragu dan takut terjerat hukum dalam mengelola dana desa. Kenapa ini penting? Sebagai orang yang turut melahirkan UU ini saya tahu betul dasar filosofi lahirnya UU ini. Selain itu, sebagai anggota Komisi III, sekarang saya paham jebakan-jebakan hukum dari UU ini, yang oleh karena itu para kepala desa harus memahaminya.
Pada kondisi yang lain, kepala desa juga saya harapkan berperan aktif dalam penguatan demokrasi di desa masing-masing. Salah satu caranya dengan tidak lagi melakukan praktik-praktik seperti dulu pada saat pileg atau pilkada yang memobilisasi warga untuk memilih salah satu kandidat atas alasan-alasan jangka pendek yang semata berhubungan dengan materi. Saya menyaksikan sendiri praktik ini pada dua pileg yang sudah saya lalui. Saya saksikan beberapa kepala desa memobilisasi warganya untuk memilih kandidat tertentu. Saya masih menyimpan catatan itu. Menyedihkan!
Dalam hal penggunaan dana desa yang jumlahnya kini sudah mencapai angka miliaran, saya meminta para kades untuk melibatkan warganya dalam perencanaan. Bangunlah fasilitas desa yang produktif atau buatlah usaha bersama seperti peternakan ayam atau itik agar ekonomi warga bergerak. Saluran air juga harus diperbanyak agar banyak sawah yang teraliri air. Berhentilah membangun monumen batas desa atau kampung yang sama sekali tak ada gunanya bagi warga.
Demikian beberapa aspirasi yang saya dapatkan pada saat reses kali ini sebagai laporan kepada seluruh pemilik mandat rakyat Indonesia, khususnya konstituen saya di Sulawesi Selatan.
Akbar Faizal
Anggota DPR-RI Komisi III
Fraksi Partai NasDem