Langkah Konkret Pemerintah Kendalikan Impor
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (23 Agustus): Pemerintah melalui
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan
Republik Indonesia terus melihatkan langkah konkret dalam pengendalian impor.
Salah satu langkah yang sedang ramai
dibahas yaitu berkaitan dengan adanya wacana pengenaan pajak penghasilan (PPh)
terhadap barang impor yang sudah memiliki substitusi di dalam negeri.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita
melalui keterangan resminya menjelaskan bahwa langkah tersebut dilakukan untuk
menyikapi defisit neraca perdagangan yang sedang terjadi belakangan ini.
Sebagaimana diketahui, pada Juli, Badan
Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa terdapat defisit neraca dagang disebabkan
nilai impor yang lebih besar dibandingkan ekspor. Secara menyeluruh, sejak awal
tahun, defisit neraca perdagangan mencapai US$3,08 miliar.
Secara kumulatif, total impor Januari-Juli
2018 mencapai US$107,32 miliar atau melonjak 24,5% dari periode yang sama tahun
sebelumnya, yakni US$86,22 miliar.
"Peningkatan impor yang didominasi
bahan baku/penolong merupakan respons terhadap kebutuhan industri nasional
untuk memenuhi permintaan pasar ekspor dan untuk memenuhi permintaan dalam
negeri yang meningkat," jelas Enggartiasto.
Bahan baku/penolong yang mengalami kenaikan
signifikan adalah bahan bakar dan pelumas; bahan baku untuk industri primer
maupun proses; suku cadang dan perlengkapan barang modal; serta perlengkapan
alat angkut.
Kendati demikian Menteri Perdagangan
Engggartiasto Lukita yang juga politisi Partai NasDem itu menilai hal tersebut
masih berada di dalam koridor yang wajar.
"Peningkatan impor pada Juli merupakan
respons terhadap kebutuhan industri nasional untuk pemenuhan produksi yang
tentu saja berpengaruh pada ekspor," ujarnya, Kamis (23/8).
Politisi asal Cirebon Jawa Barat ini
menambahkan di balik itu terdapat sinyal positif dalam upaya pemerintah
mencapai target ekspor yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sebagaimana diketahui, pada tahun ini
pemerintah menargetkan pertumbuhan ekspor 11% dari angka yang telah dicapai
pada 2017 yakni US$168,7 miliar.
Secara kumulatif, ekspor nonmigas pada
periode Januari-Juli 2018 telah mencapai US$94,21 miliar atau tumbuh 11,1%
dibandingkan periode yang sama di 2017 yang kala itu hanya meraup US$84,83
miliar.
Ekspor nonmigas di Juli 2018 tercatat
sebesar US$14,81 miliar atau meningkat 19% dibanding bulan yang sama pada tahun
sebelumnya. Capaian nilai ekspor itu adalah yang tertinggi sepanjang tahun ini.
Bahkan, hampir menyamai capaian nilai
ekspor bulanan tertinggi dalam tujuh tahun terakhir, yakni US$14,82 miliar,
yang sempat terjadi pada 2011 silam.
Sejauh ini, beberapa komoditas utama ekspor
nonmigas yang berkontribusi besar adalah bijih, kerak, dan abu logam (HS 26);
besi dan baja (HS 72); bubur kayu atau pulp (HS 47); berbagai produk kimia (HS
38); dan benda-benda dari besi dan baja (HS 73).
Kenaikan ekspor beberapa komoditas di atas
disebabkan oleh menguatnya harga ekspor. Hal itu terindikasi dari adanya
kenaikan nilai ekspor yang lebih besar dari kenaikan volumenya.
Menteri Enggar menambahkan bahwa ekspor ke
Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Taiwan berkontribusi signifikan
terhadap peningkatan ekspor nonmigas Januari-Juli 2018.
“Naiknya ekspor ke negara-negara tersebut
didukung oleh peningkatan permintaan pasar dalam negeri mereka,” pungkasnya.(*)