Surya Paloh Mengawal Kebhinnekaan

JAKARTA (19 Januari): Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mengungkapkan kegelisahannya melihat Indonesia terkini. Kegundahan, kegalauan, kecemasan, kesedihan Surya Paloh terungkap dalam acara Prime Talk tadi malam di Metro TV, Rabu (18/01).

"sp

Berikut ini hasil wawancara Aviani Malik, saat menemui Surya Paloh di Gedung Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Jalan RP Suroso 44-46 Gondangdia Lama Cikini, Jakarta Pusat.

Aviani Malik (AM): Bapak mengatakan kepada pemerintah untuk menindak tegas atas aksi yang intoleran. Bagaimana bapak melihat kondisi kebangsaan kita sesungguhnya hari ini, realitanya?
Surya Paloh (SP): Sejujurnya saya harus mengatakan dengan seluruh kejujuran yang ada pada diri saya, dengan perjalanan kehidupan yang pernah saya lalui di negeri ini sebagai anak bangsa, dengan usia yang saya miliki pada hari ini dalam usia yang mulai menatap senja, bahwa saya galau, saya sedih, dan saya cemas.
AM: Apa yang membuat anda cemas, Pak?
SP: Ada satu hal dalam potret sosial kehidupan kebangsaan kita, tidak seperti apa yang saya dambakan, seperti apa yang saya harapkan, bahkan saya yakin seperti apa yang dicita-citakan oleh The Founding Father bangsa ini, para pendiri bangsa kita ini. Mereka telah merumuskan model, sistem, wujud, bentuk, ketatanegaraan kita dengan komitmen ideologi kebangsaan yang begitu kokoh sebagai alat pemersatu.

Kita miliki itu, yang namanya Pancasila. Kita juga mengetahui benar bagaimana para pendiri bangsa kita ini, mengerti sekali arti keberadaaan kita dengan keanekaragaman kita di negeri kita ini sebagai suatu bangsa. Ribuan etnik, ribuan dialek, berbagai keanekaragaman, kultur, budaya, perilaku, yang semuanya kita sebut dalam konteks kemajemukan.

Nah, kemajemukan ini harus terjaga dan kita menghargai itu dalam semangat prularisme. Itulah yang ditegaskan dalam kebhinnekatunggalikaan, berbeda-beda namun satu jua. Artinya dari seluruh proses kehidupan kebangsaan kita, satu hal yang tidak boleh tergugat dan terganggu, yaitu semangat persatuan di dalam menjaga toleransi, keberagaman, dan kemajemukan.

Tapi hari ini, saya ingin menyatakan kalau saya galau, saya harus jujur kalau saya cemas. Saya tidak berpikir terhadap saya dan partai atau siapapun pengikut saya, tapi saya berpikir bagaimana masa depan negeri ini ketika intoleransi terjadi di mana-mana.

Sebuah upaya pressure yang sedemikian rupa amat sangat bisa kita pastikan kalau tidak ada upaya–upaya yang signifikan membangun kesadaran baru bersama yang dimotori tentunya oleh pemuka bangsa ini. Siapapun dan di manapun mereka berada, mereka yang berada di dalam institusi-institusi pemerintahan, partai-partai politik, organisasi-organisasi kemasyarakatan, dengan berbagai latar belakang yang berbeda, kalau tidak ada keterpanggilan hari ini menempatkan persatuan harus tetap terjaga seutuhnya, saya harus nyatakan kita akan kehilangan yang paling mendasar, negara kesatuan. Ini harganya terlalu mahal, dan saya pikir tidak ada guna penyesalan kemudian.

Sebelum itu terjadi saya ingin memberikan sesuatu apa yang saya pikirkan harus mampu saya berikan, mengajak kita semuanya, membulatkan semangat dan tekad, semangat kekitaan. Betapa kita patut harus bersyukur dan mensyukuri keberadaan kita sebagai suatu bangsa yang tidak semua mendapat anugerah seperti apa yang diberikan Sang Maha Pencipta.

Ini luar biasa, geografis strategis kita, demokrafis kita, nasionalis yang kita miliki, kultur budaya, kesejarahan, penderitaan kita tiga setengah abad sebagai bangsa pernah terjajah. Apa itu artinya? itu adalah proses yang mengantarkan kita sebagai suatu bangsa di hari ini. Ini tidak boleh kita sia-siakan, kita tidak boleh bermain-main untuk kepentingan sesaat, bermain-main untuk kepentingan kelompok, bermain-main untuk suatu aliran yang barangkali jelas bertentangan dengan komitmen kebangsaan kita.

AM: Tapi kan itu tidak hanya tumbuh dalam satu hari Pak Surya. Itu terjadi mungkin karena sebuah akumulasi. Lalu bagaimana harus bersikap ketika perbedaan justru menjadi modal mereka atau mungkin masa yang banyak menjadi modal mereka?

SP: Saya harus menyatakan, saya harus sepakat dengan itu. Sebuah pembiaran atas waktu atau kurun waktu cukup panjang telah terjadi. Penyelenggara bangsa ini, siapapun mungkin tidak menyadari sebuah risiko yang mungkin harus kita terima dalam situasional kenyatan yang ada pada hari ini.

Kita tidak melakukan secara sungguh-sungguh, secara continue merawat spirit nasionalisme kebangsaan. Kita tidak merawat values dan ideologi kebangsaan, kita tidak melakukan sungguh-sungguh penyadaran bagaimana agar pendidikan politik berlangsung dengan sangat baik, ada kesadaran masyarakat bahwa kita adalah sebangsa dan setanah air.

Nah, ketika kita terprovokasi oleh pemikiran-pemirian yang memang harus saya nyatakan tidak terlepas daripada ekses, sistem, dan model demokrasi yang super liberal seperti ini. Konsekuensi ini bagian yang harus kita rasakan.

AM: Lalu apa karena konsekuensi yang anda katakan sehingga tidak ada aturan. Semua merasa sebebas-bebasnya atas nama kebebasan. Lalu mulai darimana membenahinya?

SP: Masalah yang pertama adalah kalau kita mau, kita harus jujur meletakkan seluruh kondisi situasional dalam keadaan yang objektif sebagai bahan evaluasi diri kita sebagai suatu bangsa. Model dan sistem demokrasi yang dicita-citakan yang memang telah diingatkan oleh The Founding Father Bung Karno, apa yang kita kenal dengan sosio demokrasi. Bertumpu pada dua kekuatan yang senyawa, senafas, terus menerus dengan model dan sistem pergerakan demokrasi itu. Pertama adalah tetap dalam semangat persatuan nasional demokrasi dalam semangat menjaga persatuan nasional.

Kedua membawa upaya-upaya menyejahterakan kehidupan rakyat. Itulah demokrasi atau model sosio demokrasi yang telah dicanangkan oleh  The Founding Father kita. Waktu berjalan, kita masuk pada suatu tahapan era dimensi baru dalam model dan sistem demokrasi yang seperti ini di mana harus kita akui ini adalah demokrasi yang super liberal.

AM: Keluar dari jalur?

SP: Kita boleh memperdebatkan ini, tapi marilah kita bertanya sesungguhnya asas mufakat apa yang lebih banyak atau mudharat apa yang lebih sedikit. Artinya bagaimana pun berulang kali kita melihat terminologi demokrasi ini. Dalam pemahaman saya demokrasi itu bukan tujuan. Demokrasi adalah tools, equipment atau alat untuk mengantarkan tujuan-tujuan kita. Kalau demokrasi identik dengan tujuan, kita telah mencapainya sebagai negara yang paling dianggap demokratis, tapi tujuan-tujuan kebangsaan kita, tujuan-tujuan kemerdekaan kita, ini yang harus terus menerus kita perjuangkan.
"sp

Pembentukan Karakter Manusia di Indonesia Harus Berkelanjutan
AM: Ketika ada permintaan untuk menindak tegas. Selama ini mungkin pemerintah, semua elemen bangsa sudah mengawal itu, sudah mengawal kebhinekaan, sudah mengawal persatuan, tapi bibit intoleransi ini masih ada. Lalu apa yang menjadi celah sehingga mereka merasa punya kekuatan lebih untuk melakukan itu?

SP: Saya pikir yang kita mau capai itu dalam pendekatan tidak hanya yang artificial, tidak hanya kulitnya, tapi substansi, isinya, rohnya, jiwanya. Kita berhadapan sekarang dengan praktek-praktek intoleransi tentu ada akibat–sebab, sebab dan musabab, ada sebab–akibat. Tidak mungkin dia berdiri sendiri, tiba-tiba manusia Indonesia yang terkenal dengan penuh keramah-tamahan, sopan santun, penuh kasih sayang, tiba-tiba begitu (memiliki) budaya marah, kejam, intolerir, tidak ada waktu, pembenaran hanya sepihak. Ini pasti ada sesuatu.

Saya sepakat dengan apa yang dikonstatir oleh para antropolog budaya Indonesia. Ada berapa hal yang mereka konstatir. Bermula daripada katakanlah sistem dan modal pendidikan kita, baik pendidikan keluarga, pendidikan formal, dan tentunya pendidikan akhir, yaitu pendidikan masyarakat itu sendiri. Itu yang pertama.

Kedua adalah masalah kesenjangan ekonomi, ini terhempaskan. Saya nyatakan juga ada perasaan ketidakpuasan juga yang hadir di tengah-tengah kehidupan strata masyarakat kita. Ada gap si kaya si miskin, si bodoh si pintar. Ini adalah masalah bangsa kita. Kalau itu terjadi pembiaran dari waktu ke waktu tidak ada sensitivitas. Orang yang pintar tidak sensitif kepada orang yang awam, orang yang kaya tidak sensitif pada orang yang tidak punya, orang yang punya ilmu juga tidak sensitif kepada orang yang tidak memiliki nilai rata-rata. Ada kesenjangan yang membahayakan kita semua.

Terakhir adalah tindakan-tindakan yang konsisten dalam pembenahan aspek hukum kita. Hukum yang memang berkeadilan, hukum yang memang benar-benar dimaksudkan, diniatkan untuk memberikan rasa keadilan itu sendiri, bukan hanya main-mainan.

Nah, inilah sebab dan akibat yang harus kita rasakan. Proses pembiaran ini berlangsung ketika kita mau melakukan pendekatan-pendekatan selalu kepada hal-hal yang kulit, bukan isi, bukan substansi. Kita melihat penghormatan seorang itu apabila dia memakai pakaian yang baik, titel yang hebat-hebat, kemudian kita bilang dia orang yang paling bagus di negeri ini. Belum tentu.

Nah, ini yang mulai harus kita sadari. Ketika kita terbuka mata dan pikiran kita, intoleransi telah ada di mana-mana di negeri kita.

AM: Pak Surya, Ketika bapak mengatakan cita-cita dari Founding Father yang mengatakan bahwa tantangan terbesar kita adalah berjuang melawan saudara kita sendiri. Apakah itu ujian yang saat ini terjadi?

SP: Saya sepakat, dan itu sudah dikonstatir jauh hari sebelumnya. Maka dari itu, The Founding Father Bung Karno menyatakan agar Nation and Character Building harus berkelanjutan. Pembentukan karakter manusia Indonesia ini harus berkelanjutan. Kita mengadopsi teknologi yang terus berkembang, tidak statis. Kemajuan teknologi kita terima, modernisasi kita terima, tapi kita tidak merawat kultur peradaban kita. Otentik keindonesian kita, kearipan lokal kita, di sini terjadi deviasi.

AM: Atau karena nasionalisme kita yang tergerus?

SP: Tergerus pasti, karena kita mulai mencari the new identity, kita mulai mematut-mematut diri Indonesia sejatinya itulah ketika kita bisa model kebarat-baratan, itu pernah dikonstatir oleh pendahulu kita. Atau kita ketimur-tengahan, itu juga pernah dikonstatir. Kita hebat sebagai Indonesia, tetapi kita kehilangan percaya diri.

"sp

Jangan Biarkan Bangsa Lain Menertawakan Kita
AM: Ketika anda merasakan bahwa anda cemas, anda galau, mungkin mewakili perasaan banyak anak bangsa hari ini. Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita juga tidak ingin harga yang terlalu mahal ketika NKRI menjadi hancur atau pecah. Langkah pertama yang harus dilakukan dari siapa, darimana, dan dengan apa?

SP: Dari siapa saja yang masih memiliki potensi kesadaran diri pada dirinya untuk dibangkitkan kembali bahwasanya ketika mereka meminum air susu ibunya di Tanah Air ini. Sekarang Tanah Air ini memanggil mereka untuk tampil kembali dan menyatakan bahwa mereka tetap sayang pada negeri ini.

Nah, kalau ada spirit itu dari siapapun, dari manapun datangnya, tidak terkecuali dari kaum papa, dari mereka yang barangkali pendapatan ekonominya terendah, status sosialnya terendah, tapi ada kesadaran itu, maka itu jauh lebih berharga untuk bumi pertiwi ini, daripada profesor, doktor, atau orang-orang kaya yang hebat, tapi tidak punya keterikatan emosional dengan bangsa ini.

Kita harus menggugah ini. Fungsi dan peran kita harus menjadi juru warta atau the messanger. Saya ingin meng-appeal kepada semua saudara-saudara saya di Tanah Air. Ini masalah kita sebagai suatu bangsa. Jangan beri kesempatan bangsa lain menertawakan kita ketika mereka mampu mengantarkan tujuan-tujuan mereka secara konkret, kehidupan sosial yang lebih baik, martabat yang lebih terjaga, harga diri yang lebih kokoh, ekonomi yang lebih kuat. Kita (justru) berkelahi satu sama lain, kita bertengkar di antara kita. Saya pikir ini tentu kesedihan kita sebagai suatu bangsa.

AM: Tentu belum terlambat Pak. Masih ada waktu, ada harapan ke depan, dan masyarakat sebetulnya butuh keteladanan, role model tokoh-tokoh yang mengajarkan itu?

SP: Itu bisa terjadi untuk menjadi kesempatan bagi kita semua. Jadilah tokoh yang memberikan keteladanan. Tokoh itu tidak hanya milik seorang yang menjadi presiden di negeri ini, bukan hanya milik menteri, bukan hanya milik kiai, bukan hanya milik habib, kita semua bisa menjadi tokoh kalau kita mau. Berikanlah keteladanan dan ketokohan kita. Negeri ini memanggil kita hari ini.

AM: Bagaimana menyadarkan itu?

SP: Bangkitkan fungsi itu, dorong fungsi-fungsi strategis yang memerankan itu. Pemerintahan tentu harus berdiri berada di paling depan, karena itu tugas, fungsi dan peran dari pemerintah, melindungi segenap tumpah darah. Termasuk kita ini menjaga kelangsungan jalannya pemerintahan, menjaga komitmen agar ideologi kebangsaan ini untuk tetap berdiri tegak, tidak bisa tersisihkan oleh gerakan apapun.

AM: Saya ingat Pak Surya juga mengatakan kebodohan dan miskin menjadi musuh utama yang kita perangi. Bisakah kita berangkat dari memerangi itu?

SP: Pasti. Harusnya demikian, karena paling mudah terprovokasi ketika kemiskinan itu masih ada di tengah-tengah kita, semakin merajarela. Ketika kebodohan itu tidak mampu memperdebatkan, menyisihkan, mana sebetulnya yang bisa menjadi sebuah sistem nilai yang perlu untuk diikuti, atau mana nilai yang menjadi sampah, karena kebodohan. Ini masalah kita sebagai suatu bangsa.

AM: Ketika memandang hari esok, apa yang pertama kita pikirkan demi bangsa yang kita cintai ini?

SP: Kita hidup bukan hanya untuk generasi kita, tapi kita hidup untuk anak, cucu, dan generasi berikutnya ke depan. Itu tugas kita sebagai anak bangsa ini. Untuk itulah demokrasi dihadirkan pada kita agar kita memerankannya sedemikian rupa, di mana kita dapat mengambil asas mufakat yang lebih positif dari arti keberadaan negara yang menganut sistem demokrasi. Kalau tidak memerlukan mufakat, buat apa demokrasi ada. Saya lebih sepakat, sekali lagi saya nyatakan, apapun yang diminta, pengorbanan apapun yang diberikan, termasuk demokrasi itu sendiri, tidak ragu-ragu saya katakan kalau itu dibutuhkan untuk tetap menjaga kelangsungan persatuan bangsa ini.

AM: Pak Surya kita berharap memang semua masyarakat, semua elemen bangsa menyadari bahwa kita cinta ibu pertiwi. Ibu pertiwi pun cinta kita. Ini sebuah hal yang harus berbalas. Bagaimana melawan godaan, perpecahan, permusuhan, perbedaan? Bagaimana memantapkan sikap dan pikir kita?

SP: Yakinkan diri kita kalau kita manusia yang tidak lepas dari kekurangan, kekhilafan, kesalahan, dan dosa, sebagai umat yang beragama. Kita yakin dan percaya Sang Maha Pencipta akan memberikan kita petunjuknya, dalam Islam akan memberikan ridho-Nya agar kita bisa memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Dari memperbaiki kekurangan yang ada, Insya Allah kita akan mampu berjalan lebih tegak, tegap, dan optimis, menjalankan kehidupan kebangsaan yang kita cintai ini.(Fahrudin Mualim/*)

Add Comment