MK Putuskan PK hanya Hak Terpidana atau Ahli Waris
JAKARTA (13 Mei): Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Anna Boentaran, istri terpidana kasus hak tagih (Cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra.
"Menyatakan, mengabulkan permohonan pemohon," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat, ketika membacakan amar putusan Majelis Hakim Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (12/5).
Pemohon merasa keberatan atas pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena menurut pemohon hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa hanya terpidana dan ahli warisnya yang diberikan hak untuk mengajukan PK.
Mahkamah dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa PK oleh JPU telah menimbulkan dua pelanggaran yaitu pelanggaran terhadap subjek dan objek PK sendiri.
"Dikatakan ada pelanggaran terhadap subjek karena subjek Peninjauan Kembali menurut Undang Undang adalah terpidana atau ahli warisnya," ujar Hakim Konstitusi Aswanto yang membacakan putusan tersebut seperti dilaporkan Antaranews.com.
Sedangkan pelanggaran terhadap objek terjadi karena putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak dapat dijadikan objek PK.
Arief Hidayat menyatakan Pasal 263 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, yaitu sepanjang tidak ditafsirkan dengan, "…permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak selain Terpidana dan ahli warisnya batal demi hukum."
Djoko Tjandra yang diduga terlibat hak tagih (cassie) Bank Bali, pada tahun 2000 didakwa bersalah oleh jaksa penuntut umum, namun Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, membebaskan terdakwa dari semua tuntutan.
Kejaksaan kemudian mengajukan kasasi ke MA dan majelis hakim kasasi memputuskan Joko Tjandra yang merupakan Direktur Utama PT Era Giat Prima, tidak bersalah. Kemudian Kejaksaan pada tahun 2008 mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan tersebut dan pada tahun 2009 majelis PK menjatuhkan vonis 2 tahun kepada Joko Tjandra dan denda Rp15 juta.
Namun, Djoko meninggalkan Indonesia beberapa saat sebelum putusan PK itu terbit dan hingga sekarang diduga menetap di Port Moresby, Papua Nugini.
Uji materi UU No.8 tahun 1998 itu diajukan Anna Boentaran, isteri Joko Tjandra melalui tim kuasa hukumnya, Muhammad Ainul Syamsu.
"Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat memperoleh hak-hak yang dijamin berdasarkan Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 sehingga pemohon kehilangan hak untuk mendapatkan perlindungan diri sendiri dan keluarga," kata Ainul dalam sidang perdana di Gedung MK, Jakarta, (24/3) seperti ditulis Media Indonesia.com (26/3).
Hilangnya hak ini, lanjut Ainul, disebabkan penegakan hukum yang bertentangan dengan Pasal 263 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 1981, yaitu pengajuan PK oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum yang menyebabkan suami pemohon Djoko Tjandra meninggalkan Indonesia sampai hari ini.
Pemohon merasa keberatan atas pengajuan PK yang dinilai tidak memberi jaminan kemanan bagi dirinya selaku istri untuk mendapatkan perlindungan dari seorang suami.
Pemohon menganggap bahwa Pasal 263 ayat 1 tersebut seharusnya dapat benar-benar dimaknai bahwa hanya terpidana dan ahli waris yang diberikan hak untuk mengajukan PK.*