Dinasti Politik dan Gagalnya Kaderisasi Parpol
JAKARTA (9 Januari): Dinasti Politik disebut sebagai gejala demokrasi yang bertumpu pada tataran prosedural tapi minim substansi. Keputusan MK yang membatalkan pengaturan terhadap keluarga incumbent tahun 2015 yang lalu, terbukti hanya mengafirmasi adagium bahwa demokrasi prosedural begitu kuat bercokol pada paradigma Pemilu di Indonesia. Sedang secara substansial, demokrasi terkooptasi sedemikian rupa sehingga penerimaan masyarakat dan para calon kepala daerah begitu pragmatis.
Apa yang terjadi di Klaten baru-baru ini adalah bukti yang tak terbantahkan. Politik dinasti dan dinasti politik yang marak bercokol dan terjadi di daerah-daerah nyatanya lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Lewat praktik politik semacam ini, sang penguasa dengan bebas menguasai berbagai sumber daya sekaligus menutup kesempatan bagi calon lain dalam berkontestasi.
Hal ini tentu jadi momok tersendiri bagi Indonesia yang sudah melalui empat kali Pemilu pasca reformasi. Alih-alih kemajuan, yang terjadi justru kemunduran berpikir.
Dinasti politik terkait langsung dengan gagalnya partai politik dalam melakukan kaderisasi. Rekruitmen dan kaderisasi sangat penting karena menyangkut kualitas para calon pimpinan politik. Didalamnya sudah termasuk skema perekruitan, pendidikan politik, penjaringan, hingga pencalonan dalam Pilkada.
Dalam alam demokrasi, proses pemilihan pemimpin politik melalui dua tahapan.
Tahap pertama adalah tahapan seleksi oleh parpol. Dalam tahap ini parpol yang paling bertanggung jawab untuk menyeleksi calon terbaik dengan kualifikasi, kompetensi dan track record yang terbaik untuk diserahkan kepada masyarakat untuk dipilih.
Tahap kedua rakyat harus cerdas memilih calon terbaik karena keputusan akhir ada pada rakyat.
Persoalan lain yang bisa diurai ialah terkait internal partai politik. Parpol sering kali mengabaikan faktor kualifikasi, kompetensi dan track record seseorang. Partai politik lebih mengutamakan popularitas, elektabilitas dan isi tas. Akibatnya cukup serius, jabatan-jabatan publik diisi oleh orang-orang yang tidak punya kapabilitas dan orang pragmatis yang mengedepankan keuntungan pribadi bukan rakyat.
Dinasti politik adalah satu dari sekian efek samping belum kuatnya fundamental demokrasi. Partai politik tidak boleh melupakan tanggungjawabnya sebagai corong demokrasi dengan melakukan rekruitmen politik seperti yang dijelaskan dalam undang-undang.
Tapi perlu diingat bahwa fungsi rekrutmen tidak berdiri sendiri. Fungsi itu harus dijalankan paralel dengan fungsi pendidikan politik dan kaderisasi. Dalam fungsi inilah parpol bisa menyiapkan kader terbaiknya untuk menjadi kepala daerah.(*)
Luthfi A Mutty
Anggota Komisi II DPR RI
Fraksi Partai NasDem