Tukang Cobek Mang Tajudin Mendatangiku Siang Ini.

JAKARTA (26 Januari): Hari ini saya menerima Sdr. Mang Tajudin, penjual cobek yang baru saja keluar dari penjara selama 9 bulan karena dianggap mempekerjakan anak di bawah umur. Berangkat dari Padalarang Bandung dengan bus sambil memikul jualan cobekannya, Mang Tajudin datang mengadukan nasibnya yang tetap gulita meski telah ke luar dari penjara Tangerang.

Dituntut 3 tahun penjara dan denda 120 juta, subsider 1 bulan kurungan berdasarkan UU tindak pidana perdagangan orang, UU KUHP dan UU Perlindungan anak, lelaki berusia 42 tahun yang tak lulus SD ini belum bisa tersenyum lepas. Jaksa penuntut umum melakukan kasasi atas vonis bebas dari hakim.

Kasus ini saya ketahui bermula dari pemberitaan di media online. Kaget, saya meminta staf untuk berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum yang membela Tajudin di persidangan. Dari mereka, saya mempelajari berkas kasusnya secara detail. Memang, secara teknis hukum, penerapan pasal ini bisa memicu berbagai kontroversi. Tetapi sang pemutus keadilan sudah menjatuhkan putusan lepas, yang lantas direspon dengan upaya kasasi oleh jaksa penuntut umum tadi.

Bagi saya, kasus seperti ini tidak bisa serta merta menggunakan kacamata kuda. Memandang segala sesuatunya menggunakan pendekatan hukuman sich. Padahal Prof Satjipto Rahardjo dengan aliran hukum progresifnya mengatakan ‘hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum’. Karena itu, penegak hukum harus melihat suatu kasus dari sisi kemanusiaan termasuk dari sisi sosiologisnya. Tidak hanya melihat pemenuhan unsur pidananya.

Si anak yang menjadi subyek tuduhan kepada Tajudin beserta orang tua dan mayoritas warga di kampung mereka menyatakan di persidangan bahwa sang anak tidak dipaksa melakukan pekerjaan berjualan cobek. Semata ingin membantu ekonomi keluarga. Terlebih, si anak merupakan keponakan Tajudin sendiri. Tapi di mata penegak hukum, hal itu memang tidak menghapus unsur pidana sehingga sampailah lelaki beranak 3 ini pada vonis 9 bulan penjara. Si anak nyaris putus sekolah karena tidak ada biaya. Begitulah, penegakan hukum selalu membawa efek berantai. Tidak hanya Tajudin yang menjadi korban, tetapi keluarga juga. Inilah yang harus dilihat penegak hukum.

Mang Tajuddin meminta kepada saya sebagai wakil rakyat untuk membela dirinya agar terhindar dari penjara dengan berbicara kepada para pihak agar kasasi jaksa tidak perlu dilanjutkan. Saya akan melakukannya pada kewenangan yang layak dan bisa saya lakukan.

Saya juga akan berkirim surat kepada hakim yang memutus bebas Tajudin sebagai bentuk terimakasih telah memutus perkara dengan hati nurani. Kepada kejaksaan, tanpa bermaksud untuk mengintervensi perkara, saya akan meminta agar kasus ini mendapat atensi khusus dari Jaksa Agung.

Saya senang bisa menerima dan mendengarkan luka seorang anak manusia dihadapan negaranya. Masih banyak yang harus kita lakukan untuk Indonesia kita. Saya juga senang melihat senyum Tajudin yang sumringah cobekannya habis diborong staf fraksi NasDem dengan harga layak. Saya juga membeli satu. Saya yakin sambel dari cobekan hasil tangan langsung Tajudin akan lebih nikmat karena dibuat dengan kesungguhan dan tanggungjawab pada keluarganya. Dia sangat mencintai ketiga anaknya, terkhusus anak ketiganya yang lahir saat dia masih dipenjara. (*)

Jakarta, 26 Januari 2017
Akbar Faizal

Add Comment