Perlu Pembaruan Kebijakan Nasional terkait Regulasi Perbukuan
JAKARTA (12 September): Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, memandang perlu pembaruan kebijakan nasional terkait regulasi perbukuan, apalagi literasi sebagai bagian dari pendidikan yang menjadi hak dasar setiap warga negara.
Ia memandang perbukuan di Tanah Air belakangan ini cukup mengkhawatirkan seiring dengan perkembangan zaman.
“Ada fenomena penurunan atensi atas keberadaan dan arti penting buku dari bangsa ini maupun pihak yang berwenang. Gelagatnya bisa dilihat dari mulai dari rendahnya kapasitas literasi anak bangsa, hingga redupnya toko-toko buku dan perpustakaan. Dalam kacamata peradaban, kenyataan ini sangat mengkhawatirkan,” ujar Willy di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Willy menerima naskah akademik sekaligus draf revisi UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan dari Badan keahlian DPR RI. Revisi atas UU tersebut menjadi usulan inisiatif Willy.
“Di dalam buku, gagasan termaktub dan diabadikan. Di dalam buku, pendapat dan pemikiran dituangkan dan dipelajari. Karena itu, sudah semestinya keberadaannya mendapat atensi yang besar dari negara,” katanya.
Ia menilai, ada masalah kultural sekaligus struktural terkait fenomena tersebut. Di level kultural, terjadi pergeseran perilaku dan atensi atas buku dari bangsa ini. Terlebih ada studi kasus di mana ratusan anak SMP di Bali yang tidak bisa baca tulis.
Lebih lanjut, Willy menganggap saat ini tidak lagi menjadi bahan diskursus yang semarak dalam berbagai ruang dan kesempatan. Hal itu dapat dilihat dari toko buku yang kini tidak lagi menjadi destinasi yang ramai dikunjungi sebagaimana satu dua dekade sebelumnya.
“Keberadaannya bahkan tidak mendapat tempat yang layak dan terhormat. Di bilangan Senen, misalnya, toko buku berada di selasar yang gelap, pengap, dan tersembunyi. Demikian juga dengan perpustakaan. Keberadaannya kerap menjadi tempat dengan fasilitas ala kadarnya. Hanya di kota-kota besar fasilitas ini terbilang memadai,” papar Willy.
Sementara di level struktural, ia melihat bahwa existing kurang memadai untuk menjawab tantangan dan perkembangan yang terjadi. Willy menilai, UU tersebut bias buku ajar sebagai pemenuhan program wajib belajar sembilan tahun.
“Ini telah membuat produksi buku tidak semarak dan hanya berorientasi pada pemenuhan bahan ajar semata,” ungkap pimpinan Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) DPR tersebut.
Problem struktural lainnya yang disebut Willy terletak pada soal harga kertas dan pajak. Menurutnya, hal ini yang membuat harga buku di Tanah Air terasa lebih mahal dibanding negara lain.
“Dalam hemat saya, PPN atas buku mesti dihapuskan. Bagaimana kita akan mencerdaskan bangsa ini jika akses untuk menjadikannya cerdas malah dibuat mahal. Sudah saatnya akses-akses yang menunjang tumbuhnya peradaban luhur dari bangsa ini dibuka seluas-luasnya,” tutur Willy.
Willy mengatakan, kenyataan tersebut pada gilirannya membuat ekosistem perbukuan di Indonesia menjadi tidak sehat. Padahal ini adalah syarat utama bagi tumbuhnya literasi yang kuat bagi segenap anak bangsa.
“Buku adalah soko guru pengetahuan. Tanpa keberadaan buku, takkan kokoh sebuah pengetahuan,” ucap Legislator Partai NasDem itu.
Karena itu melalui revisi atas UU tentang perbukuan, Willy mengajak semua pihak untuk mengarahkan perhatiannya pada soal yang sangat penting ini, yakni persoalan yang akan menentukan maju-mundurnya bangsa Indonesia di masa mendatang. Ia pun menargetkan revisi atas UU tersebut bisa masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2025 ini.
“Semoga ini menjadi amal jariah kita bersama. Dan bagi saya pribadi, ini adalah ikhtiar dalam menjaga arti penting buku sebagai simbol peradaban,” pungkas Willy. (dpr.go.id/*)